Minggu, 26 April 2020

KUBERIKAN HATIKU HANYA UNTUKMU

Suasana kerja yang sibuk. Semua mengerjakan tugas masing-masing. Kalau udah akhir tahun seperti ini biasanya disibukkan dengan berbagai laporan dengan segala macam hal yang sangat memusingkan kepala. Tapi itulah kerja walaupun semua itu akan menguras tenaga dan sudah tentu membuat sering terlambat makan siang.

Asya dan Pianka memesan makan siang mereka. Sambil menunggu pesanan mereka menikmati jus jeruk untuk mengembalikan energi yang sudah terkuras habis. Tiba-tiba Andra mendekat sambil duduk disamping Asya.

“Asya boleh tanya nggak?” ujarnya.
“Boleh tanya apa bang?” sahut Asya sambil terus meminum jusnya.
“Apa kamu udah putus dengan Rado? Maaf lho, sebelumnya nih bukan maksudku apa-apa?” katanya lagi.
Asya dan Pianka saling pandang dengan nada heran.
“Emangnya kenapa Bang?” tanya Asya  ingin tahu.
“Soalnya kemarin aku melihat Rado sedang jalan dengan seorang cewek. Mesra banget kayaknya?” lanjut Andra. Asya tersedak saking kagetnya.

“Gimana orangnya Bang?” tanya Asya lagi dengan jantung nggak karuan dan wajah yang menahan marah. Pantas aja kemarin dia tidak bisa menemani aku itu pikirnya dalam hati. Pianka yang bisa membaca wajah Asya berusaha menenangkan Asya.

“Tenang Sya,” ujarnya sambil memegang tangan Asya.
“Teruskan ceritanya Bang?” ujar Asya meminta Andra melanjutkan ceritanya.
Setelah mendengar cerita Andra. Asya langsung tahu dengan siapa Rado jalan kemarin.
“Aku tahu itu siapa Bang?” ujarnya lagi.
“Kamu kenal?” tanya Andra heran.
“Ya, dia adik temanku. Yang juga sudah aku anggap adik sendiri,”  jelas Asya sambil minum jusnya. Tapi dalam hatinya dia tidak menyangka kalau dia bisa dibohongi seperti itu. Caca udah aku anggap adik sendiri tapi ternyata dia mengkhianti aku. Begitu juga dengan Rado dia sudah berani membohongi diriku katanya dalam hati.

“Tapi maaf ya Sya, aku nggak bermaksud apa-apa lho? Tapi aku sudah anggap kamu seperti adikku sendiri makanya aku menceritakan ini,” ujar Andra dengan perasaan tidak enak.

“Tidak apa Bang, aku malah berterima kasih atas semua ini,” lanjut Asya.
Pesanan mereka sudah datang, meskipun dengan perasaan nggak enak Asya tetap memakan makanan itu dengan perasaan kacau.
“Sya kamu boleh marah atau apa tapi kamu jangan marah pada makanan ini ya!” ujar Pianka cemas.
“Tenang Ka, kamu nggak usah khawatir aku akan habiskan makan ini semuanya.” Asya berusaha tegar lalu memakan semua makanan itu.
“Habiskan, Ka, Bang?” ujar Asya dengan senyuman di bibirnya. Dia memperlihatkan piringnya yang licin tak ada bersisa sedikitpun.
Andra dan Pianka saling pandang.
“Karena makanan aku udah habis, aku duluan ya,” ujarnya lagi sambil berdiri meninggalkan kedua teman kerjanya. Andra dan Pianka hanya terdiam sambil tertunduk dan melanjutkan makan mereka tanpa berkata apa-apa lagi.

Sekembalinya ke kantor Asya kelihatan sangat sibuk menyelesaikan pekerjaannya tanpa berkata-kata sedikitpun. Andra dan Pianka yang tahu hanya diam.

Sepulang dari kantor Asya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Terasa sangat rontok seluruh tulang belulangnya. Pikirannya melayang ke beberapa hari terakhir ini. Lalu dia berkata dalam hatinya. Kenapa ya aku tak bisa tanggap dengan ini semua. Padahal perasaan aku sudah mencurigai mereka itu sebelumnya tapi mengapa dengan aku ini seolah membiarkan itu semua pikirnya. Dia menepuk-nepuk bantal.  Saking kesalnya. Tapi tiba-tiba dia bangun. Lalu mandi dan memakai stelan celana jeans dan baju kemeja panjang sambil dilipatkan sedikit. Dia melilitkan sebuah sal tipis di lehernya dan memakai sepatu boot hitam, dan sebuah tas yang mengelantung di bahunya.

Dia menyusuri jalan kota yang diceritakan oleh Andra. Dia mencoba mencari-cari sosok yang lagi ingin dicarinya. Ternyata memang benar. Langkahnya terhenti. Seolah tak percaya tapi itu nyata. Kalau aku marah atau menangkap mereka seperti ini apa yang akan mereka katakan ya, pikir Asya dalam hati. Tapi aku bukan perempuan bodoh. Lalu Asya melangkah maju dan berdiri tepat didepan Rado dan Caca. Mereka berdua kaget dan kelimpungan tak tahu arah. Asya tersenyum lalu duduk didepan mereka.

“Enak ya bisa santai di sini?” ujar Asya.
“Ya, ka..kamu udah pulang kerja Sya?” jawab Rado dengan sedikit tergagap sedangkan Caca yang duduk disampingnya hanya tertunduk.
“Kenapa dengan kamu kok seperti itu bicaranya?” tanya Asya melihat Rado. Muka Rado memerah tertangkap basah oleh Asya. Sedang Asya menatapnya dengan tenang.  Caca yang kelihatan takut langsung berdiri.
“Aku pergi dulu ya!” katanya.
Asya yang dari tadi hanya diam menarik tangan Caca sambil berkata.
“Duduk dan jangan kemana-mana!” ujar Asya.

Caca yang sudah takut semakin pucat. Dia memegang tangan Rado. Melihat itu semua semakin membakar hati Asya yang memang sudah sangat marah. Tapi Asya berusaha menahan emosinya. Bodoh kalau aku marah-marah disini, bisa dilihat oleh semua orang itu akan merusak reputasiku. Katanya dalam hati.

“Hebat kalian, sungguh hebat,” kata Asya sambil melipat kedua tangan.
“Asya aku bisa jelaskan!” ujar Rado.
“Nggak usah dijelaskan, aku udah tahu. Jadi selama ini kalian membohongiku,” kata Asya dengan senyum sinis. Lalu melihat tajam ke arah Rado.
“Dan kamu?” ujar Asya menatap tajam ke arah Caca. Caca semakin mengelayut di tangan Rado. Rado juga kelihatan sekali ingin melindungi Caca. Itu semakin membuat Asya marah.
“Eh, Sya maaf aku memang ada hubungan dengan Caca, mau apa kamu?” katanya menantang Asya.

Asya kaget. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki yang dia cintai selama ini. Yang selalu menjaganya, melindunginya dalam keadaan apapun. Begitu juga dengan Asya yang selalu mendampingi dia dan juga selalu membantu keluarganya.

“Oh... gitu, baguslah kalau kamu udah ngaku. Mulai hari ini kamu tidak usah datang ke rumah aku dan tak usah lagi pergi ke tempat aku bekerja!” kata Asya dengan menahan emosinya. Sementara di dalam hatinya berkecamuk jadi satu seperti samudra yang mengamuk.

Asya berusaha menahan sakit hatinya. Lalu dia membalikkan badannya. Dalam hati dia berjanji tak akan pernah memaafkan mereka untuk selamanya atas pengkhianatan yang mereka lakukan.

Dia melangkahkan kakinya entah kemana yang penting dia bisa menghilangkan rasa sakitnya. Teriknya matahari tidak dirasakannya dia terus berjalan. Setelah berputar-putar kakinya kecapean dan perutnya terasa lapar. Lalu dia memasuki mall yang tidak jauh di tempat dia berdiri. Entah perasaan yang tidak enak atau konsentrasinya yang lagi buyar dia menabrak seseorang sehingga dia terpeleset jatuh sehingga sikunya berdarah.

“Aduh..,” dia meringis menahan rasa sakit.
Orang yang ditabrak tadi berhenti dan menarik tangannya. Asya melihat ke wajah yang menolongnya itu dengan wajah sedikit malu.
“Maaf, aku tak sengaja, gimana keadaanmu?” tanya orang itu.
“Nggak apa-apa, aku yang salah jalannya tidak hati-hati tadi. Maaf ya,”  ujar Asya. Orang itu hanya tersenyum lalu melihat ke tangan Asyah.
“Tangan kamu berdarah, mari aku obati!” ujarnya lagi.
“Nggak usaha, terima kasih, nggak apa-apa kok,” tolak Asya.
“Jangan seperti itu, itu lukanya dalam lho nanti bisa infeksi,” kata laki-laki itu lagi. “Ayo, di mobilku ada kotak obat!” ajaknya lagi.

Melihat tangannya yang lumayan banyak darah akhirnya Asya mau juga mengikuti laki-laki itu. Dia membuka mobilnya dan mengeluarkan kotak P3K. Dia mengambil air aqua lalu mencuci luka Asya. Asya meringis sakit. Ternyata luka tangannya cukup dalam lalu orang itu memberi obat dan membalutnya dengan kain kasa dan memplester luka itu.

“Udah, selesai, “ ujar laki-laki itu.
“Oh, maaf kita belum kenalan, siapa namanya?“ ujarnya sambil tersenyum menatap Asya, dia cukup baik, sopan dan cukup ganteng juga.
“Asya,” jawab Asya mengulurkan tangan. Dan disambut oleh laki-laki itu.
“Namaku Widi,” balasnya. “Gimana dengan tanganmu masih terasa sakit?” tanyanya lagi.
“Udah nggak terlalu sakit kok, makasih ya atas bantuannya,” kata Asya. “Kalau gitu aku duluan ya,” ujar Asya lagi sambil melangkah pergi. Luka ini tidak sesakit luka yang dirasakan di hatinya. Karena kejadian tadi Asya jadi hilang rasa laparnya dia hanya ingin pulang ke rumah secepatnya. Laki-laki tadi yang bernama Widi hanya menatap Asya sambil tersenyum dan terus menatap Asya sampai hilang dari penglihatannya.

Sesampainya di rumah Asya langsung mandi dan shalat. Jalan satu-satunya yang ada di dalam hatinya saat ini meminta perlindungan kepada yang Kuasa dan diberi ketegaran. Di dalam do’anya dia menanggis mengadukan kepada Tuhannya ada kecemasan dalam dirinya, apa yang akan aku jawab seandainya keluargaku bertanya dan juga teman-temanku lainnya. Apa kau sanggup untuk menjawabnya.

Selasai shalat Asya kembali tenang. Segala keluh kesahnya telah dia tumpahkan. Semua tangisnya sudah dia lepaskan. Segala sesak di dada terasa sangat plong. Betapa berat cobaan yang dia terima. Hubungan dia dengan Rado bukan hubungan sebentar lagi. Mereka sudah menjalin hubungan selama 4 setengah tahun. Cukup lama. Seandainya anak kecil itu udah bisa berjalan dan bermain. Ah sudahlah semua telah berlalu. Hidup ini tidak akan kiamat hanya oleh seorang Rado pikirnya.

Malam pun datang dia membaringkan badannya melupakan semuanya karena kelelahan dia tertidur. Dia tertidur lelap sekali. Tubuhnya memang benar-benar lelah. Lelah tenaga dan lelah pikiran.

Besoknya dia bangun seperti biasa melaksanakan rutinitas pagi dan tentunya setelah itu akan berangkat bekerja. Dia melangkah dengan ringan. Meskipun ada yang hilang terasa tapi terasa plong sekali.

Dia memasuki ruangan kantor seperti tidak ada beban apa-apa. Pianka dan Andra tidak bertanya apapun.

“Pagi Pianka, Bang Andra,” ujarnya sambil tersenyum. Pianka tersenyum.
“Yo i, Sya, gimana pagi ini, ok semuanya?” sahut Andra.
“Ok, Bang!” jawab Asya lagi sambil mulai bekerja.

Waktu istirahat seperti biasa Andra, Pianka dan Asya pergi ke kantin. Mereka bertiga memesan nasi goreng. Setelah pesanan mereka sampai mereka langsung menikmati makan siang mereka. Waktu makan Asya mulai bicara.

“Bang, kamu benar sekali, Rado benar-benar telah mengkhianati aku,” ujarnya sambil terus menyendok nasi gorengnya. Andra dan Pianka yang lagi makan langsung berhenti mengunyah dan sama-sama melihat ke arah Asya. “Jangan khawatir ayo terus makan!” ajaknya yang melihat kedua sahabatnya berhenti makan! “Aku nggak apa-apa kok,” lanjutnya. Andra dan Pianka saling pandang dan kembali melihat kearah Asya seolah ingin tahu apa yang terjadi setelah sepulang bekerja kemarin. Asya mengerti apa yang ada di pikiran sahabatnya. Lalu melanjutkan perkataanya. “Kemaren aku telah memergoki mereka berdua dan seperti yang Bang Andra bilang mereka berdua memang ada hubungan bukan sekedar kakak adik aja.” Andra dan Pianka kaget sekali sambil melihat serius kearah Asya.

“Trus, apa yang terjadi?” tanya Pianka ingin tahu.
“Biasanyalah kalau ada orang yang tertangkap basah seperti apa kondisinya, tapi jangan khawatir nggak ada kerusuhan kok, hanya sedikit emosi tinggi aja,” jawab Asya sambil rapatkan jari jempol dan telunjuknya seolah-olah menjelaskan kata-kata sedikit. Andra terdiam mendengar kata-kata Asya.
“Trus,” tanya Andra.
“Yah, semuanya telah berlalu Bang!” sahut Asya. “Aku nggak mau lagi mengingat apa yang sudah terjadi. Yang sudah ya sudah. Hidup ini akan terus berlanjut. Tak mungkin pula bisa di undo lagi seperti komputer,” ujar Asya lagi.

“Bagus Sya, aku yakin kamu bisa kuat, itu lebih baik daripada kita tetap menjalankan hubungan palsu dan kepura-puraan,” tegas Andra memegang tangan Asya. Dia tahu sekali apa yang dirasakan oleh Asya. Begitu juga dengan Pianka langsung memeluk Asya memberi kekuatan buat sahabatnya. Tiba-tiba Asya berhenti makan. Dan langsung memeluk Pianka sambil terisak menangis.

“Lepaskan semuanya Sya!” ujar Pianka sambil memeluk Asya yang menangis terisak dalam pelukannya. Andra hanya bisa menepuk-nepuk pundak Asya.
Setelah tangis Asya berhenti. Pianka menyerahkan air minum pada Asya. Asya meminumnya. Setelah Asya tenang. Lalu dia tersenyum melihat kedua sahabatnya.
“Aku cengeng ya Bang, Ka?” tanya Asya pada sahabatnya.
“Tidak...” jawab Andra sambil melihat Asya.
“Ayo kita makan lagi!” ujar Pianka. Asya dan Andra mengangguk dan mereka menghabiskan makan siang mereka.

  Waktu terus berlalu Asya semakin tegar menghadapi permasalahannya. Bahkan kelihatan dia sudah tidak mengingatnya. Dia kembali tersenyum, tertawa dan bekerja dengan penuh semangat. Dan dia mempunyai banyak waktu untuk mengurus dirinya dan berbagi dengan sahabatnya. Selama berhubungan dengan Rado. Dia selalu disibukkan dengan Rado dan mengurus permasalahan adik-adiknya. Dan Rado sendiri tidak menyadari kalau selama ini Asya sudah begitu banyak membantu keluarganya. Tapi dasar manusia yang lupa dengan kebaikan orang seperti itulah. Sekarang dia semakin modis dan semakin cantik aja. Sebab sekarang dia mempunyai banyak waktu untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bisa makan dan istirahat dengan tenang. Bisa liburan di hari libur tanpa ada aturan yang selalu ditetapkan oleh Rado. Rasanya Asya merasakan hidup yang nyaman sekali saat ini. Ternyata orang yang selalu mengatur pasangannya dengan segala aturan malah dia yang melanggarnya. Itu cerita masa lalu Asya sekarang dia seorang yang tegas, cantik dan cerdas dalam menyelesaikan segala urusan kantornya. Sekarang dia sering mendapat pujian dari atasannya atas prestasi-prestasi yang di capai selama bekerja satu tahun terakhir ini. Berkat prestasinya itu dia mendapat bea siswa mengambil gelar Pasca Sarjananya di Universitas Indonesia. Dia bangga sekali mendapat kesempatan itu. Disamping kuliah dia tetap bekerja seperti biasa. Jadi jadwal kuliahnya hari Sabtu dan Minggu, kadang ada juga tambahan kuliah malam. Tapi Asya sangat menikmatinya. Dia kelihatan bersemangat sekali walaupun dia sangat sibuk.

Hari ini Pianka, Andra dan Asya terpilih untuk mengikuti pelatihan. Mereka senang sekali mengikuti pelatihan itu. Suasana ruang yang tenang. Peserta perwakilan dari seluruh perusahaan yang ada di Jakarta ini. Setelah acara pembukaan. Lalu sampailah kepada penyajian materi. Asya sedikit kaget ketika melihat siapa penyaji Materinya. Kebetulan dia tidak terlalu jauh ke belakang hanya pada deretan ke tiga  dari depan. Jadi dia bisa melihat jelas siapa penyaji materinya.

Ternyata penyaji materinya Bapak Widiyanto, seorang pengusaha sukses dan juga motivator. Dia menceritakan gimana dia membesarkan usaha keluarganya yang hanya dulu kecil-kecilan sehingga dia membangun perusahaan hingga akhirnya dia berhasil sukses seperti sekarang ini. Disamping itu dia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di kota ini yang mempunyai gelar pasca sarjana  dan juga gelar doktor yang tentu lulusan S3. Tapi kok bisa ya, dia masih muda tapi gelarnya sudah berderet. Ternyata dari ceritanya bisa di nilai kalau dia termasuk murid yang pintar sehingga dia dapat menyelesaikan pendidikan dengan cepat tanpa ada jeda bersambung terus. Asya serius mendengarkan Bapak Widiyanto menyampaikan materinya. Sesekali ada pandangan Widiyanto mengarah kepada Asya. Dia tidak menyangka kalau orang yang pernah menolong dia dulu seorang yang terkenal.

Setelah selesai menerima materi pada jam istirahat Asya, Pianka dan Andra pergi ke kantin yang tak jauh dari ruang pelatihan. Ketika itu dia melihat Bapak Widiyanto hendak berangkat dengan mobilnya. Meskipun Asya pernah kenal dengan dia, dia tidak mau sok dekat dengan Bapak Widiyanto. Tapi Bapak Widiyanto yang melihat dia keluar dari mobil lalu menghampirinya.
“Asya kan?” tanyanya mendekati Asya. Asya mengangguk. Gimana kabarnya Asya?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
“Baik Pak,” jawab Asya sambil menyambut salamnya. Pianka dan Andra heran melihat Asya.
“Gimana dengan tanganmu?”
“Sudah sembuh Pak,” jawab Asya.  
“Syukurlah, Baiklah kalau gitu aku pamit dulu! Semoga acaranya sukses ya sampai selesai nanti,”  kata Widiyanto lagi.
“Ya Pak, terima kasih,” jawab Asya sambil memberi hormat. Widiyanto juga pamit kepada Pianka dan Andra sambil tersenyum ramah. Lalu dia masuk ke mobil dan meninggalkan tempat pelatihan.
“Sya kamu kenal dengan Bapak Widiyanto itu?” tanya Pianka sambil tersenyum manis.
“Ya, dulu. Kenapa kok kalian tersenyum?” tanya Asya melihat kepada kedua sahabatnya.
“Nggak?” jawab Andra juga turut tersenyum di kulum.
“Ada apa sih?” tanya Asya memandang curiga kepada Andra.
“Nggak, cuma aku berpikir kayaknya dia suka kamu deh?” sahut Andra.
“Suka, suka dimana?” ujar Asya lagi sambil terus mengikuti sahabatnya berjalan.
“Aku ini laki-laki tahulah, gimana ciri-ciri orang yang suka?” jawab Andra lagi.
“Ah... Bang Andra ini adaa.... aja...,” ujar Asya lagi sambil menepuk tangan Andra. Andra tertawa sambil memberi kode kepada Pianka. Pianka juga turut tersenyum simpul.
“Sya seandainya memang benar dia suka kamu, aku mendukung 100 persen lho,” ujar Andra sambil menarik kursi lalu duduk. “Orangnya pintar, mapan, ganteng dan ramah lagi. Orangnya juga tidak sombong,” tambah Andra.
“Aduh Bang, terlalu tinggi hayalannya, aku sendiri tidak tahu dia gimana. Jangan-jangan dia sudah punya istri lagi,” ujar Asya sambil minum air putih yang disajikan pelayan. Sementara Pianka memesan makan siang mereka.
“Sya kamu belum cerita pada kami dimana kamu kenal dengan Bapak Widiyanto tadi?” tanya Pianka lagi.
“Oh itu, waktu aku pas putus dengan Rado aku kan keliling-keliling sampai sore ketika aku merasa lapar aku memasuki mall. Tapi aku menabrak dia, jadi aku terjatuh. Sampai siku ku luka. Dan dia membantu mengobati lukaku itu. Nih lihat sikuku masih ada bekasnya!” sahut Asya sambil memperlihatkan sikunya yang terluka dulu.
“Nah benarkan? Kalian itu memang jodoh pas putus ada yang menyambut,” ujar Andra lagi menggoda Asya. Pianka juga turut tertawa kecil.
“Udah ah?” jawab Asya tersipu malu digodain kedua sahabatnya.
 “Eh Sya, kain penutup luka dulu masih disimpan nggak?” tanya Andra lagi.
“Bang Andra ini, masak kain seperti itu aku simpan memang buat aku museumkan?” cibir Asya lagi.
“Mana tahu dijadikan kenang-kenangan ya nggak Ka,” ujar Andra melihat Pianka. Pianka yang ditanya juga ikut mengangguk sambil tersenyum menggoda.
“Ah udah ah, makan ayo makan!” ajak Asya kepada temannya. Mereka bertiga lalu memakan pesanan mereka.
Setelah satu minggu mengikuti pelatihan akhirnya selesai juga. Mereka kembali ke kantor bekerja seperti biasa. Begitu juga dengan Asya tetap kuliah. Kebetulan hari ini dia harus kuliah malam. Setelah selesai jam kuliah hari sedikit mendung mungkin akan turun hujan. Dia lupa pula bawa payung. Padahal hari baru jam 08.00 malam tapi udah sangat gelap. Dia menunggu taksi di halte tapi tak ada satupun yang lewat lalu dia pergi ke halte bus juga nggak ada yang lewat. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Untung di sekitar tempat dia menunggu bus banyak pedagang berjualan jadi dia tidak terlalu takut. Lalu dia berdiri di dekat orang berjualan sambil menumpang berteduh. Cukup lama dia menunggu. Lewatlah sebuah taksi tapi taksi itu tak juga mau berhenti. Dia berusaha agak ke tepi jalan walaupun dengan sedikit dibasahi hujan. Tiba-tiba lewat sebuah mobil hitam. Lalu mobil itu mundur lagi dan berhenti tepat di depan Asya. Orang itu membuka kaca lalu memanggil namanya.
“Asya...Asya?” panggil orang yang membuka kaca.
Asya menoleh dengan sedikit ragu dan terlihat wajah yang dia kenal. Lalu dia mendekat. “Mau kemana Sya?” katanya lagi. Asya lega dia tahu itu Widiyanto.
“Oh Bapak, aku mau pulang. Tapi taksinya penuh terus,” jawab Asya sambil berdiri kedinginan.
“Ayo, masuk mobil aku antar pulang!” ajak Widiyanto.
“Nggak usah Pak, aku nunggu bus aja nanti!” tolak Asya.
“Ini udah malam Sya, gimana kalau sampai malam busnya nggak ada, apa kamu mau berdiri disini sampai pagi?” tanyanya. “Kamu jangan takut, aku jamin kamu sampai ke rumah tanpa kurang satu apapun, aku janji!” katanya sambil mengangkat dua jari tangannya. “Ayo hujannya semakin lebat,” ujarnya lagi. Asya juga berpikir seperti apa yang dipikirkan oleh Widiyanto sementara hari semakin malam. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut dengan mobil Widiyanto.
“Maaf Pak, bajuku basah,”  ujarnya dengan sedikit segan takut mobilnya basah.
“Tak apa, ini ada handuk!” Widiyanto menyerahkan sebuah handuk untuk melap muka dan badannya yang kena air hujan. Lalu Asya membuka blazernya yang basah dan untung pula dia memakai kemeja tadi sehingga badannya tidak terlalu dingin. Widiyanto membuka kantong yang ada di belakang joknya. Ternyata dia mengambil sebuah jaket. Dan menyerahkan kepada Asya. “Sya ini ada jaket kamu bisa pakai!” ujarnya lagi. Tanpa ragu lagi dia langsung menerimanya karena dia benar-benar mengigil kedinginan.
“Makasih ya Pak, atas bantuannya!” ucap Asya. Widiyanto hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Kamu dari mana Sya?” tanya Widiyanto lagi.
“Aku balik kuliah Pak,” sahut Asya.
“Kamu ambil kuliah malam?”
“Ya Pak tapi kadang-kadang,  tergantung dosennya.”
“Kamu kuliah, terus kerjanya gimana?”
“Tetap kerja Pak, aku mengambil kuliah untuk mendapatkan gelar Pasca di UI, jadi aku ambil kuliah hari sabtu dan minggu. Tapi kadang ada juga kuliah malamnya.  Tadi karena hujan makanya aku terlambat. Taksi juga nggak ada dari tadi ku tunggu. Syukurlah Bapak tadi ada.” Asya berkata sambil menoleh ke arah Widiyanto. Widiyanto tersenyum mendengar cerita Asya sambil terus menyetir mobil menyusuri jalanan menerobos lebatnya hujan.
“Oh, jadi kamu ambil kuliah Strata 2?” ujarnya sambil menoleh.
“Begitulah Pak,” jawab Asya singkat.
“Kamu hebat Sya, bisa membagi waktu sedemikian padatnya!” puji Widiyanto.
“Ah biasa Pak, tapi tidak sepadat kegiatan Bapak kan?” jawab Asya balik bertanya. Widiyanto tersenyum lagi.
“Kalau aku sudah terlatih dari kecil Sya. Gimana caranya mengejar waktu agar semuanya terlaksana dengan baik,” sahutnya lagi. “Tapi kadang aku juga merasa jenuh Sya,” ujarnya lagi.
“Oh ternyata Bapak bisa juga merasa jenuh?” Asya tersenyum.
“Emangnya kenapa, aku kan manusia biasa juga, sama dengan kamu dan juga yang lainnya?” ujarnya lagi. Mendengar perkataannya Asya merasa ada sesuatu yang dia rasakan yang mungkin tak bisa dia ungkapkan. Asya melihat ke arahnya. Merasa diperhatikan dia menoleh. Asya tersenyum sambil terus memandangnya.
“Sya, aku berjuang dari kecil Sya. Aku tahu betul gimana susahnya perjuangan aku dulu!” jawabnya sambil menghela napas. Jadi aku tidak suka melihat orang yang malas belajar. Untuk belajar aja malas. Sedangkan aku dulu harus bekerja sambil belajar. Sama seperti kamu sekarang ini.” Ucapnya sambil tersenyum pada Asya.
“Aku bisa merasakan apa yang Bapak rasakan. Tapi hidup itu perjuangan kan Pak. Kalau Bapak dulu tidak berjuang tentu sekarang Bapak tidak seperti ini. Aku kagum atas perjuangan Bapak,”  puji Asya lagi.
“Terima kasih Sya, baru kamu yang bicara seperti itu padaku,” jawabnya.
“Tunggu Sya, kayaknya kita bakal terjebak macet nih?” ucap Widiyanto dengan sedikit cemas menoleh ke arah Asya. “Gimana Sya, kamu jadi terlambat kayaknya?” tambah dia lagi.
“Nggak masalah Pak, mau gimana lagi begitulah Jakarta ini selalu macet!” jawab Asya bijak.
“Sebaiknya kamu telpon orang rumah dulu biar mereka tidak khawatir!” ujar Widiyanto.
“Sudah Pak aku sudah kirim pesan dari tadi,” jawab Asya dengan tenang.
“Baguslah, soalnya aku takut ntar sampai rumah aku dimarahi mengembalikan anak gadis orang. terlalu malam!” ujarnya.
“Tapi aku yang cemas Pak, ntar ada yang marah sama aku sebab Bapak harus antar aku pulang dulu?” balas Asya. Widiyanto tertawa sambil menoleh kepada Asya.
“Kamu ini, siapa yang marah kalau aku antar kamu pulang. Aku kan laki-laki. Pulang terlambat nggak bakalan ada yang cemas. Kecuali kalau aku sudah punya istri baru ada yang cemas!” katanya. Mendengar itu Asya jadi senang jadi dia masih sendiri.
“Makanya Bapak harus cari biar nanti ada yang nungguin Bapak pulang!” ujar Asya sambil menoleh ke arah Widiyanto.
“Nggak ada yang mau sama aku!” jawabnya lagi.
“Nggak ada yang mau atau Bapak yang nggak mau?” tanya Asya lagi.
Widiyanto hanya tersenyum.  “Kalau kamu Sya, siapa pacarnya?”
“Aku tak punya pacar ?” sahut Asya sambil melepas pandangannya keluar.
“Ah masak, gadis seperti kamu tidak punya pacar?” tanya Widiyanto.
“Benar Pak,” jawab Asya sambil tersenyum hambar.
Widiyanto menoleh seakan ingin bertanya tapi sepertinya ada kesedihan di jawaban Asya.
“Oh ya Pak, nampaknya rumahku sudah dekat,” kata Asya. “Di depan sini Pak” tunjuk Asya. Asya membuka jaket yang diberikan Widiyanto
“Nggak usah kamu buka, ntar aja dikembalikan!” tegas Widiyanto.
“Oh ya Pak, ntar aku cuci dulu ya,” jawab Asya. Widiyanto tersenyum.
“Sebelum kamu turun, boleh nggak aku minta nomor ponselmu?”  ujar Widiyanto.
“Oh, boleh,” jawab Asya sambil memberikan nomor ponselnya. Lalu Widi menyimpan dan langsung miscall.
“Itu nomor ku simpan ya!” ujarnya.
“Baik Pak, terima kasih, telah antar aku pulang,” ujar Asya lagi.
“Sama-sama Sya telah mau aku antar, tapi kalau besok-besok ketemu aku lagi jangan panggil Bapak lagi ya!” ujarnya sambil mengerutkan kening. Asya ikut tersenyum.
“Aku pamit Sya, salam buat keluargamu,” kata Widiyanto.
“Baik, sekali lagi terimakasih,” jawab Asya. Widiyanto tersenyum sambil menutup kaca mobilnya dan berlalu meninggalkan rumah Asya.
Beberapa hari kemudian Widiyanto pergi ke rumah Asya. Dia mengetuk pintu. Yang dirumah hanya Rana sepupu Asya. Sebab orang tua Asya pergi ke rumah kakak Asya yang cukup lumayan jauh dari rumah. Sebab istri Ari kakak Asya baru melahirkan jadi tidak ada yang menjaganya. Sementara anaknya yang besar baru berumur 4 tahun yang lagi lincah-lincahnya bermain. Jadi Papa dan Mama Asya tinggal sementara di rumah Ari. Sementara Ari bekerja menjadi seorang pilot jarang berada di rumah.
“Assalamu’alaikum!” Widi memberi salam.
“Waalaikumsalam, siapa ya?” jawab Rana sambil membuka pintu.
“Oh, Aku Widi, Asyanya ada nggak?”  tanya Widi sambil mengulurkan tangan pada Rana.
“Oh Kak Widi, Aku Rana Kak, sepupu Kak Asya. Kak Asyanya lagi kerja katanya pulangnya agak terlambat ada lembur,“ jawab Rana.
 “Tapi bentar lagi mungkin udah pulang, Kak Widi tunggu aja dulu!”  Sambil mempersilahkan Widi masuk. Widi berpikir. “Gimana ya, baiklah kalau gitu!” jawabnya lagi. Rana membiarkan pintu masuk terbuka lebar. “Sebentar ya kak!” kata Rana sambil masuk ke dalam. Widi tersenyum lalu duduk di ruang tamu. Dia duduk sambil melihat-lihat majalah yang ada dibawah meja. Beberapa saat kemudian Rana keluar sambil membawa segelas teh dan makanan kecil. “Silahkan kak di minum tehnya juga dimakan kuenya!” ujar Rana sambil duduk menemani Widi.
“Merepotkan jadinya,” ujar Widi dengan perasaan nggak enak.
“Tidak, biasa kok kak, silahkan!” ujar Rana.  Widi tersenyum sambil meminum tehnya. “Oh ya kak, aku senang sekali bisa ketemu dengan kak Widi, biasanya aku hanya dengar cerita dari Kak Asya aja,” ujar Rana. Widi tersenyum.
“Apa yang diceritakan Asya tentang aku?” tanya Widi sambil melihat ke arah Rana.
“Nggak banyak juga sih cuma dia bilang kalau Kak Widi itu orangnya pintar dan juga suka bekerja keras sehingga bisa membangun perusahaan menjadi sukses. Kak Asya bilang agar aku mencontoh Kak Widi, biar nanti bisa jadi orang sukses juga,” ujar Rana lagi dengan penuh semangat. Widi tersenyum.
“Hmm... kalau Kak Asya siapa pacarnya Rana?” tanya Widi dengan sedikit ragu-ragu.
“Kak Asya sekarang nggak punya pacar Kak, dulu ada tapi udah putus, udah dua tahun ini kak Asya nggak punya pacar,” ujar Rana. Widi mendengarkan dengan serius.
“Trus kenapa putusnya?” tanya Widi.
“Kak Asya di selingkuhi oleh Bang Rado dengan adik teman Kak Asya namanya Caca. Padahal Kak Asya sangat baik sama Caca. Eh, Nggak tahunya malah dia ambil Bang Rado dari Kak Asya. Dan Bang Radonya juga jahat pada Kak Asya. Bang Rado itu lupa kalau Kak Asya sering membantu keluarganya. Tahu nggak kak, bahkan Kak Asya pernah ambil uang tabungannya untuk membantu merehab rumah Ibu Bang Rado. Walaupun uang itu akhirnya ada di bayar oleh Bang Rado dengan cicilan. Banyak lagi yang lainnya. Tapi dasar Bang Rado lupa segalanya. Makanya sekarang kalau Kak Asya itu sering bilang sama Rana. Kalau orang udah banyak permintaannya itu udah nggak benar dan perlu hati-hati kata Kak Asya.” Widi tersenyum. “Sejak itu Kak Asya nggak ada pacaran lagi sampai sekarang,” tambah Rana. Dia lebih fokus bekerja dan kuliah. Tapi aku senang kak. Kak Asya sekarang lebih banyak waktu untuk mengurus dirinya dan wajahnya lebih ceria. Tidak lagi terikat dengan aturan-aturan Bang Rado yang membuat aku sendiri sebel sama dia,” tegas Rana. “Aku sendiri nggak mau ada orang lain lagi yang membuat Kak Asya sedih. Karena aku sayang banget sama Kak Asya, dia selalu baik sama aku. Kalau aku ujian dia mau menemani aku belajar sampai aku selesai, meskipun sampai larut,“ kata Rana lagi. “Eh, kak jangan bilang-bilang ya sama Kak Asya, kalau aku yang cerita. Soalnya Kak Asya itu sekarang tidak suka sekali membicarakan tentang apa saja yang berhubungan dengan Bang Rado!” ujar Rana lagi mengingatkan Widi. Widi tersenyum.
“Tenang, nggak bakalan aku cerita sama Asya!” janji Widi mantap. Widi senang sekarang dia tahu gimana masa lalu Asya. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki mendekat.
“Assalamualaikum,” terdengar suara Asya.
“Waalaikumsalam,” jawab Rana dan Widi. Rana mendekat ke pintu.
“Kak, ada Kak Widi,” katanya. Asya kaget. Dia melangkah masuk.
“Oh, udah lama Kak,” tanya Asya.
“Lumayan Sya, banyak ya kerjaannya?” lanjut Widi sambil tersenyum.
“Yah, gitulah Kak lagi sibuk-sibuknya,” ujar Asya sambil duduk.
“Hmm... tadinya aku mau minta tolong Sya untuk menemani aku mau cari hadiah. Tapi kayaknya kamu lagi capek ya?” tanya Widi. Asya berpikir sejenak.
“Kak temani aja Kak Widinya, kan kak Widinya udah lama menunggu kakak,, kasihan lho udah nunggu sampai se sore ini,” bujuk Rana sambil tersenyum. Asya mencubit pipi Rana.
“Ini anak kecil, pintar kali kalau membujuk. Baiklah kalau gitu gimana kalau kita shalat magrib dulu. Siap shalat kita berangkat! Gimana Kak?” tanya Asya.
“Boleh!” jawab Widi senang.
Setelah shalat Magrib Asya dan Widi berangkat.
“Rana aku bawa Kak Asya dulu ya?” pamit Widi. Rana tersenyum sambil mengacungkan jempol.
“Jaga Kak Asya yang Kak!” ujar Rana.
“Ya Rana, jangan khawatir, aman,” sahut Widi sambil menjalankan mobilnya.
“Maaf ya Sya, aku ajak kamu, padahal kamu lagi capeknya?” ujar Widi
“Nggak apa aku senang bisa bantu,” jawab Asya.
“Oh ya, apa hari ini nggak sibuk kak?” tanya Asya.
“Kebetulan untuk dua hari ini aku mengosongkan kegiatanku,” jawabnya.
Asya heran ada apa ya biasanya dia kan selalu sibuk. Ada acara apa dia mau libur dua hari ini. Asya tak mau memikirkan hal-hal yang dia tidak tahu.
“Sya gimana kalau kita makan dulu, tadi kamu kan tak sempat makan?” tanya Widi.
“Nanti ajalah kak, kita cari hadiahnya dulu!” balas Asya.
“Tapi aku ingin makan dengan kamu dulu baru cari hadiahnya!” ujarnya sambil menoleh.
“Eh, jangan-jangan kakak lagi yang lapar udah lama nunggu aku tadi?” selidik Asya.
“Bukan  itu, tapi aku ingin makan bareng dengan kamu dulu, bolehkan?”  tanyanya lagi.
“Yah terserah aja deh?” jawab Asya lagi sambil tersenyum tipis.
Setelah mereka makan Widi mengajak Asya untuk mencari hadiah yang dia inginkan. Ternyata Widi itu memasuki toko perhiasan.
“Gimana Sya mana yang bagus tolong pilihkan, aku kurang ngerti kalau selera cewek itu gimana?” tanya Widi. Lalu Asya memilih-milih. Widi ingin membeli satu set perhiasan.
“Oh ya kak ceweknya umur berapa?”
“Yang jelas udah nggak anak-anak lagi, udah umur 20anlah,” jelasnya. Asya mulai mengira-gira jangan-jangan dia mau melamar seseorang sehingga dia mau membelikan satu set perhiasan pikirnya. Tapi apa salahnya kalau dia melamar seorang cewek pikirnya. Wajarlah dia kan sekarang sudah cukup umur untuk menikah pantas aja kalau dia mau menikah. Apalagi dia ganteng, mapan dan sukses. Tentu dia perlu pendamping untuk menemani hari-harinya. Asya kembali konsen dengan tugasnya.
“Ah yang ini bagus Kak,” tunjuk Asya sambil memperlihatkan pada Widi.
“Benar sekali mbak, ini bagus sekali!” ujar penjual perhiasannya.
“Benar, kita pilih ini aja!” jawab Widi.
“Kalau gelang ini mana yang bagus Sya?” tanya Widi. Asya memperhatikan kedua gelang yang ditunjukkan oleh Widi.
“Kalau gelang ini, aku lebih suka yang ini lebih simpel!” pilih Asya memilih salah satu gelang yang ditunjukkan oleh Widi.
“Ya udah tolong di bungkus ya Mbak gelang dan satu set perhiasan tadi!” kata Widi.
Lalu mereka meninggalkan toko perhiasan itu. Di dalam mobil Asya hanya diam tanpa banyak bertanya. Karena dia tidak punya kapasitas untuk bertanya untuk siapa perhiasan yang di beli tadi. Namun rasa penasaran ada di dalam hatinya. Ada apa dengan aku ini. Apa aku cemburu pikirnya. Sesaat kemudian Widi menoleh ke arah Asya.
“Sya besok malam kamu ada acara nggak?” tanya Widi.
“Emangnya ada apa kak?”
“Besok keluarga aku ada acara, jadi aku mengundang kamu untuk datang?” tanya Widi lagi.
“Besok ya kak, nggak sih. Insya Allah aku bisa datang. Tapi acara apa kak?” tanya Asya memberanikan diri.
“Ada deh besok aja lihat!” jawabnya singkat.
“Harus tahulah gimana pula bawa kadonya, kalau acaranya nggak tahu? Ntar salah sasaran lagi?” lanjut Asya.
“Nggak usah mikir kado yang penting kamu datang aja, itu udah hadiah yang terbesar buat aku,” jawabnya. Asya tersenyum.
Besoknya Asya pergi kerja seperti biasa. Dia duduk sambil termenung. Tiba-tiba Pianka menepuk pundaknya. Asya kaget.
“Nah, mikir apa ayo...?” tanya Pianka
“Ini Ka, tadi malam aku diminta tolong oleh Kak Widiyanto untuk menemani dia untuk membeli perhiasan untuk seseorang,” cerita Asya.
“Hem..hem udah panggil Kakak nih?” canda Pianka. Asya jadi malu dia lupa kalau bicara dengan Pianka. Mukanya memerah.
“O..ooh, maaf maksud Pak Widiyanto, kayaknya dia mau melamar deh jadi dia minta tolong sama aku untuk membantu dia,” jelas Asya.
“Ah udah ah, jangan diralat nggak apa-apa aku ngerti,” goda Pianka.
“Ah kamu bercanda aja,” ujar Asya.
“Trus?” tanya Pianka lagi.
“Masalahnya aku diundang, jadi aku bingung harus pakai apa untuk acara dia itu? Kita kan tahu dia itu orang terkenal yang pasti tamu-tamu bukan orang sembarangan?” jelas Asya.
“Benar juga kamu Sya?” sahut Pianka turut berpikir. “Tapi ntar dulu dia beli perhiasan apa tadi malam?” tanya Pianka.
“Ya, satu set perhiasan untuk cewek umur 20an katanya!” ujar Asya lagi. Pianka cemberut mendengarnya.
“Ada apa?” tanya Asya heran melihat Pianka.
“Kalau gitu dia memang mau melamar seseorang kayaknya, padahal aku berharap kamu jadian dengannya!” sunggut Pianka. Asya tertawa mendengar Pianka bicara.
“Ka... ka nggak mungkinlah sama aku? Dia itu siapa?” sahut  Asya.
“Tapi kalau memang melamar orang lain tapi mengapa dia mengajak kamu?” kata Pianka sambil berpikir.
“Kembali ke permasalahan tadi! Gimana?” tanya Asya lagi.
“Jangan cemas, ntar malam aku bantu kamu berdandan biar cantik!” ujar Pianka. Asya tersenyum senang.
Setelah jam kantor habis Asya bergegas pulang untuk bersiap-siap untuk pergi acara nanti malam. Dia ingin cepat-cepat memilih baju apa yang akan dia bawa. Dan Pianka udah janji ntar sore akan ke rumahnya. Sesampai di rumah Rana langsung menyongsong Asya di pintu.
“Kak  Asya tadi ada yang kiriman paket ini buat Kak Asya!” kata Rana sambil memperlihatkan paket itu.
“Apa isinya?” tanya Asya ingin tahu. Rana menggelengkan kepalanya.
“Coba buka kak aku penasaran?” kata Rana. Lalu Asya membuka kotak itu. Ternyata ada sebuah gaun di dalamnya. Asya kaget dia membaca pesan di dalamnya. Di pakai ntar malam ya Sya !!! Dari Widi. Asya dan Rana saling pandang.
“Dari kak Widi?” ucap Rana. Asya terdiam dia berpikir dalam hati. Benar kan acaranya pasti mewah kalau tidak ngapain dia kirim baju seperti ini. Baju mahal lagi. Tentu dia tidak mau kalau aku tampil jelek.
Sore pun datang. Pianka sudah sampai di rumah Asya. Dia mulai merancang-rancang gimana mendandani Asya biar kelihatan cantik. Setelah dia melihat baju yang dikirimkan oleh Widi. Dia kaget. Dia menjadi tidak pede untuk mendandani Asya. Tiba-tiba dia ingat sepupunya yang punya salon. Lalu dia meminta sepupunya Mita untuk datang mendandani Asya. Setelah shalat Magrib Asya mulai didandani oleh Mita. Mita sangat berpengalaman untuk mendandani orang. Begitu juga dia mendandani Asya. Asya sangat cantik sekali dan anggun dengan baju yang dikirimkan oleh Widi. Setelah semuanya selesai. Pianka mengajak Asya ke dekat kaca.
“Lihat Sya kamu cantik banget?” ujar Pianka terkagum-kagum melihat Asya. Asya tersipu malu.
“Makasih yang Mita udah bantu aku,” ujar Asya. Mita tersenyum.
“Kalau gitu aku pamit dulu ya!” kata Mita.
“Sekali lagi makasih ya,” kata Asya.
“Nggak usah gitu, aku senang kok bantu kamu. Kamu kan teman Pianka,” kata Mita tersenyum lagi. Lalu Mita pergi karena dia harus kembali lagi ke salonnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Asya. Rana yang mendengarnya lalu keluar melihat. Pintu mobil Widi terbuka. Rana terkejut. Aduh gantengnya kak Widi pujinya dalam hati.
“Malam Rana, apa Kak Asyanya sudah siap?” tanya Widi. Rana tersenyum sambil membuat lingkaran dengan jari tangannya menandakan sudah siap.
“Kak Widi masuk dulu!” ujar Rana.
“Nggak usah, kakak tunggu di luar aja!” sahutnya.
Rana berlari ke kamar Asya.
“Kak Asya kak Widinya udah datang. Dia ganteng sekali,” puji Rana. Asya tersenyum dan begitu juga dengan Pianka.
“Jangan-jangan dia menembak kamu malam ini Sya?” kata Pianka.
“Nggak lah dia membelikan perhiasan itu untuk cewek 20 an bukan aku!” tegas Asya. Lalu mereka bertiga keluar.
Ketika Asya melangkah ke pintu Widi menoleh. Dia terdiam menatap Asya. Terlihat sekali kalau dia kagum melihat Asya.
“Kak Widi, Kakak aku cantik kan?” Suara Rana mengagetkan Widi. Widi tersenyum.
“Benar,” jawabnya sambil terus menatap Asya. Rana dan Pianka tertawa kecil melihat Widi. Lalu Widi mulai tersadar.
“Gimana Sya kita berangkat sekarang?” ajaknya. Asya mengangguk.
“Tapi ntar dulu ada yang kurang?” katanya sambil mengambil sesuatu di dalam kantong jasnya. Dia mengeluarkan sesuatu. Betapa kagetnya Asya. Itu kan gelang yang aku pilih semalam. Widi hendak memasangkan gelang itu di tangannya. Tapi Asya menolaknya.
“Nggak usah kak!” tolak Asya.
“Nggak boleh nolak!” katanya sambil terus memasangkan gelang itu ditangannya. Pianka dan Rana yang melihat saling pandang dan tersenyum senang.
“Hmm, Cie-cie,” kata Rana. Widi menoleh sambil tersenyum.
“Ayo kita berangkat,” kata Widi lagi.
“Pianka aku titip Rana ya?” kata Asya.
“Tenang Sya,” jawab Pianka sambil menyerahkan tas tangan Asya. Asya mengambilnya dan melangkah ke mobil Widi.
Widi membuka pintu mobil untuk Asya. Setelah itu dia juga masuk mobil dan mulai menyalakan mobilnya. Dan melambaikan tangan kepada Pianka dan Rana. Mobilnya mulai melaju. Di dalam mobil dia menoleh ke arah Asya.
“Kamu cantik sekali Sya?” pujinya.
“Ah nggak, ini kan didandani,”  jawab Asya merendah. Dia tersenyum
“Tapi sebenarnya kamu memang sudah cantik, secantik hatinya,” pujinya sambil terus menyetir. Sesekali dia menoleh ke arah Asya. Setelah sampai di tempat acara dia memarkirkan mobil. Lalu keluar dan membukakan pintu mobil buat Asya.
“Ayo!” katanya sambil mengulurkan tangannya. Asya sedikit kaget tapi dia menyambut tangan Widi dan keluar dari mobil. Setelah keluar dari mobil. Dia langsung mengenggam tangan Asya. Asya semakin kaget. Dan jantungnya berdebar-debar. Ketika Asya dan Widi memasuki lokasi pesta seluruh tamu langsung melihat ke arah mereka. Semua kagum melihat pasangan itu. Widi terus melangkah sambil mengenggam tangan Asya. Sesekali dia berhenti melambaikan tangan dan menyalami tamu-tamunya juga memperkenalkan Asya. Lalu mengenggam tangan Asya lagi. Mereka menuju ke depan, mereka langsung disongsong oleh seorang gadis yang cantik pakai gaun putih. Asya kaget sekali gadis itu memakai satu set perhiasan yang dia beli tadi malam.
“Asya ini adikku Astrid!” kata Widi memperkenalkan gadis cantik itu.
“Senang bertemu kamu Astrid?” ujar Asya mengulurkan tangan. Astrid tersenyum menyambut.
“Terima kasih kak, udah datang di acara Ulang Tahunku, dan juga terima kasih atas hadiah perhiasan ini, katanya lagi. Asya tersenyum.
“Aku hanya  memilihkan Astrid,” kata Asya sambil menoleh ke arah Widi. Astrid tersenyum
“Tak apa  aku senang dan suka pilihan kakak,” katanya. “Silahkan duduk dan mencicipi makanannya kak,” ujarnya lagi.
“Terima kasih Astrid,” sahut Asya.
Widi kembali mengajak Asya berjalan. Sampai di depan seorang Ibu yang masih kelihatan masih muda dan seorang Bapak yang berwibawa.
“Asya ini Ibu dan Bapakku,” ujarnya sambil memperkenalkan orang tuanya. Asya tersenyum. Dia menyalami orang tua Widi sambil mencium tangan mereka. Ibu dan Bapak Widi nampak terenyuh dengan perlakuan Asya. Lalu tiba-tiba Ibu Widi memeluk Asya. Asya membalas pelukan orang tua itu. Dia memegang muka Asya.
“Kamu baik sekali Asya,” puji Ibu Retno.
“Terima kasih Bu,” jawab Asya sambil tersenyum.
Begitu juga dengan Bapak Retno kelihatan mulai menyukai Asya.
“Ayo silahkan duduk!” ajak Ibu Retno.
“Terima kasih Bu,” sahut Asya sambil duduk disamping Ibu Retno. Widi senang sekali orang tuanya menyukai Asya.
“Sebentar ya Sya kamu duduk dulu! Aku temui tamu-tamu dulu?” ujarnya lagi. Asya tersenyum.
“Silahkan kak,” sahutnya.
Widi mulai menemui tamu-tamunya satu persatu. Terlihat sekali dia orang yang disegani. Sesekali dia menoleh melihat ke arah Asya sambil berbicara dengan tamunya. Teman-temannya ada yang menepuk pundaknya. Setelah semuanya hadir. Acara ulang tahun Astrid di mulai dari doa sampai pemotongan kue, foto bersama, dan  setelah acara pemotongan kue Asya kembali duduk bersama orang tua Widi. Demikian juga dengan tamu-tamu sangat suka dengan hidangan yang disajikan. Bapak Retno menoleh ke arah Asya lalu berkata.
“Aku senang Widi dekat dengan kamu?” katanya. “Dia sering bicara tentang kamu. Aku senang sekali. Apalagi setelah aku bertemu dengan kamu langsung?” ujarnya lagi.
“Terima kasih Pak,” sahut Asya dengan santun.  Sementara Widi sibuk menemui tamu-tamu. Waktu terus berjalan karena hari sudah malam orang tuanya mohon pamit. Widi mendekati orang tuanya.
“Pak mobilnya sudah siap,” katanya. Ibu dan Bapak Retno mengangguk.
“Asya, Ibu dan Bapak pamit dulu!“ kata Ibu Retno. Asya berdiri.
“Iya Buk, Pak, hati-hati di jalan,” kata Asya.
“Kak siapa yang antar Bapak sama Ibu pulang?” tanya Asya.
“Oh, ada sopir,” jawab Widi.
“Kita antar dulu yuk, beliau ke mobil,” ajak Asya.
“Nggak usah, kalian duduk aja!” balas Pak Retno. Asya tersenyum lalu kembali duduk.
“Tenang, sopir Bapak dan Ibu orangnya baik kok!” kata Widi lagi.
Acara terus berjalan. Widi menoleh ke arah Asya sambil tersenyum. Asya heran.
“Ada apa?” tanya Asya ingin tahu. Dia hanya tersenyum.
“Kamu cantik sekali malam ini,” pujinya lagi sambil terus memandang Asya. Asya jadi tersipu malu.
Waktu terus berjalan tamu-tamu sudah mulai berpamitan pulang. Demikian juga dengan Asya dia juga ingin pamit pulang. Setelah mengantarkan adiknya naik mobil dan menyuruh asistennya mengurus masalah kado-kado dan mengantar adiknya pulang. Lalu dia mengajak Asya pulang juga.
Mereka sudah berada dalam mobil. Widi menjalankan mobilnya.
“Asya terima kasih ya, udah bisa hadir di acara Ulang Tahun adikku?”
“Sama-sama aku juga mengucapkan terima kasih telah diundang. Terima kasih juga atas baju dan gelang ini. Ini terlalu mahal,” kata Asya lagi sambil melihat ke arah Widi. Widi menoleh dan tersenyum. Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya.
“Kehadiran kamu di acara tadi, bagiku lebih mahal lagi dari baju dan gelang itu,” katanya. Dia menatap ke arah Asya. Pandangan yang penuh arti. “Sya, ada satu lagi yang mau aku kasih kepadamu?“ katanya sambil terus menatap Asya. Asya mengerutkan keningnya. Apa lagi ya pikirnya dalam hati. “Apa kak?” tanya Asya heran. Dengan sedikit berat dia berkata lagi. “Sya apakah kamu mau menerima hatiku?” katanya. Asya terdiam. Asya mulai mengerti arah pembicaraan Widi. Dia menatap Widi. “Aku ingin selalu bersama kamu. Aku ingin kamu mau menemani hari-hariku dan menjadi ibu dari anak-anakku! Aku ingin setiap aku bangun kamu ada di dekatku. Dan setiap aku pulang ke rumah kamu telah menungguku. Yang paling utama sekali aku ingin jadi Imam buatmu.” Air mata Asya menetes mendengar kata-kata Widi. Dia begitu terharu dengan kata-kata itu.
Widi menghapus air mata Asya. “Apakah kamu mau menerimanya Sya,” tanyanya lagi.
“Apakah kakak mau menerima segala kekuranganku?” jawab Asya. Widi tersenyum menganggukkan kepala.
“Aku juga banyak kekurangannya Sya,” sahut Widi. Asya merasa lega.
“Aku mau menjadi ibu dari anak-anakmu Kak, menemani hari-harimu dan menunggumu setiap kali kamu pulang bekerja dan juga jadi makmummu,” jawab  Asya dengan suara terharu.
“Terima kasih Sya, terima kasih, aku senang sekali,” katanya sambil mengenggam tangan Asya. Bulan depan kita menikah ya?” katanya lagi. Mendengar bulan depan Asya kaget sekali.
“Kok cepat banget?” tanyanya heran.
“Biar aja, emang kenapa?” balik Widi bertanya.
“Kan menikah itu nggak mudah?” ujar Asya.
“Memang nggak mudah tapi mulai besok aku akan mempersiapkannya?” katanya sambil menghidupkan mobil. Asya tersenyum.
“Terus melamarnya kapan?” tanya Asya lagi
“Minggu depan,” jawabnya.
“Waduh, pakai perangko berapa tuh?” balas Asya.
“Nggak pakai perangko-perangkoan, pakai kilat khusus aja,” jawabnya lagi. Asya tertawa kecil mendengar jawaban-jawaban Widi. Widi menoleh sambil tersenyum.
Perjalanan dari lokasi pesta ke rumah Asya cukup jauh hari juga sudah cukup malam. Karena kecapean Asya tertidur. Widi tersenyum melihat Asya tertidur. Tanpa sadar kepalanya sudah bersandar ke bahu Widi. Widi tersenyum lagi. Setelah sampai di rumah Asya. Widi agak berat membangunkan Asya yang lagi tidur di bahunya. Dia memandang wajah Asya yang tidur dengan tenang, cantik, keibuan yang membuat dada Widi selalu berdebar-debar setiap kali melihat Asya.  Lalu dia membangunkan Asya.
“Sya bangun, udah sampai!”
“Oh maaf, aku tertidur ya kak?”
“Tak apa,” jawab Widi sambil tersenyum.
Sementara Pianka dan Rana sudah menunggu. Mereka keluar menyambut kedatangan Asya dan Widi.
Widi mengambil tiga kantong tas di jok belakang. Lalu keluar dan membuka pintu untuk Asya.
“Hati-hati Sya,” katanya memegang tangan Asya yang baru bangun tidur.
“Ya,” jawab Asya sedikit berat.
Mereka melangkah mendekati Pianka dan Rana. Widi tersenyum.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalalaikumsalam,” jawab Pianka dan Rana.
“Maaf, udah menganggu istirahatnya,” kata Widi.
“Tak apa kak!” jawab Rana.
“Ini sedikit oleh-oleh,“ kata Widi menyerahkan tiga kantong tas yang berisi kue.
“Oh, terima kasih Kak, kami kebagian juga,” kata Rana sambil menyambut tas pemberian Widi. Widi tersenyum. Pianka dan Rana sangat pengertian mereka masuk mendahului Asya. Memberi kesempatan pada Asya.
“Ok, kalau gitu, aku pamit dulu Sya,” kata Widi sambil menatap Asya. Asya tersenyum dan mengulurkan tangan disambut oleh Widi. Asya mencium tangan Widi. Widi tersenyum. Lalu melangkah menuju mobil.
“Hati-hati Kak, kalau udah sampai kabarin aku!”  kata Asya lagi.
“Ya,” jawabnya sambil masuk mobil dan melaju meninggalkan rumah Asya.
Asya masuk lalu mengunci pintu dan menuju ke kamar. Sementara Pianka dan Rana lagi menikmati kue yang dibawakan oleh Widi.
“Baik juga, kak Widi  ini ya, kita dibawakan kue juga?” kata Rana.
“Hmm.. enak-enak lo kuenya,” Pianka juga ikut  menambahkan. Asya hanya tersenyum melihat Pianka dan Rana menikmati kue.
“Gimana Sya, meriah acaranya?“ tanya Pianka.
“Wah meriah banget Ka, tamu-tamunya aja ramai,” jawab Asya sambil ganti baju.
“Acara apa sih sebenarnya?” tanya Pianka yang sudah tak sabar.
“Ternyata Ulang Tahun Adiknya Ka. Trus perhiasan yang aku dibeli itu buat dia namanya Astrid.”
“Trus ketemu siapa lagi kak,” tanya Rana.
“Dengan orang tuanya,” jawab Asya sambil duduk di atas tempat tidur bergabung dengan Pianka dan Rana.
“Gimana respon keluarganya ketemu kakak?” tanya Rana. Asya tersenyum
“Baik keluarganya?” jawab Asya. “Tapi ada satu lagi,” ujar Asya. Pianka dan Rana saling pandang heran.
“Hmmm. Aku di.......” Asya menghentikan kata-kata dengan sedikit malu. Pianka dan Rana saling pandang.
“Pasti kak Widi menembak kak Asya kan?” tanya Rana. Asya menganggukkan kepalanya.
 “Cie-cie, senang tu. Udah bisa ditebak dari kemarin-kemarin?” kata Pianka sambil menyikut tangan Rana. Rana juga ikut tersenyum mengoda. “Gimana ceritanya Sya?” tanya Pianka lagi.
Lalu Asya menceritakan semuanya. Pianka dan Rana jadi melonggo mendengar kalau Widi berencana bulan depan mau menikahi Asya. Ditambah lagi lamarannya minggu depan. Tapi mereka sangat senang mendengarnya. Lalu mereka tidur. Setelah tertidur sesaat terdengar ponsel Asya berbunyi. Ketika di lihat ternyata panggilan dari Widi. Panggilan Video call lagi.
“Udah sampai kak?” tanya Asya.
“Udah, barusan sampai,” jawabnya.
“Kok pakai video call segala?” tanya Asya. Dia tersenyum.
“Aku masih ingin melihat wajahmu,” jawabnya. Asya jadi tersipu malu.
“Malam ya Sya, malam juga kak,” jawab Asya. Widi mengakhiri Videonya.
Ternyata tak semudah yang dibayangkan oleh Widi mengurus masalah pernikahan. Tapi yang membuat Widi tenang orang tua Asya telah menyetujui hubungannya dengan Asya. Setelah melewati berbagai macam urusan yang berbelit-belit akhirnya selesai juga. Empat bulan kemudian hari pernikahan Asya datang juga. Asya kelihatan cantik banget begitu juga dengan Widi tampak sangat ganteng.
Andra, Pianka, dan Rana duduk sambil memperhatikan pernikahan Asya dan Widi. Andra tersenyum.
“Bang ternyata benar apa yang Bang Andra bilang dulu, kalau Asya dan Pak Widi itu benar-benar berjodoh?” ujar Pianka sambil menoleh ke arah Andra. Andra tersenyum dan mengangguk.
“Aku senang banget Ka, melihatnya,” sahut Andra memandang Asya dan Widi duduk di depan Penghulu. “Aku bersyukur dia mendapatkan orang yang lebih baik dari Rado. Kalau dengan Rado tak mungkin dia seperti ini,”  katanya lagi.
“Benar sekali Bang, aku juga bersyukur. Asya bisa mendapatkan kebahagiaannya,” sambung Pianka.
“Ka, orang baik itu pasti dapat orang baik juga!” ucap Andra dengan wajah menyakinkan. Pianka menganggukkan kepalanya tanya setuju.
Upacara pernikahan Asya dan Widi telah selesai. Walaupun hari yang melelahkan tapi mereka berdua senang sekali. Sebelum pernikahannya ternyata Widi telah membeli sebuah rumah yang asri buat Asya. Asya sendiri tidak tahu. Ternyata Widi suka memberi kejutan buat Asya. Tanpa sepengetahuannya Widi telah meminta bantuan kepada Pianka, Andra, Rana dan Astrid untuk membantunya memberikan kejutan ini buat Asya. Ketika acara resepsinya selesai. Widi membawa Asya dengan menyetir sendiri mobilnya. Asya melihat sekeliling dia memasuki halaman yang sangat indah dengan lampu-lampunya yang berwarna-warni. Widi membuka pintu dan mengulurkan tanganya. Asya tersenyum dan menyambutnya.
“Ini rumah siapa kak?” tanya Asya yang asing dengan rumah yang akan dimasukinya. Dia melangkah sambil mengandeng tangan Widi. Widi hanya tersenyum. Sambil memegang tangan Asya yang lagi mengandeng tangannya. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Keluarlah wajah-wajah yang sudah dikenal oleh Asya.
“Kejutan...,” kata mereka serempak. Andra, Pianka, Rana dan Astrid tersenyum sambil menyirami Widi dan Asya dengan bunga. Asya tersipu. Widi juga tersenyum. Asya memasuki rumah semuanya sudah tertata rapi ketika dia melihat ke arah dinding. Di sana terpajang Foto besar dia dan Widi waktu acara ulang tahun Astrid. Bagus sekali. Asya tersenyum sambil melihat ke arah Widi. Widi tersenyum.
“Ini rumah kita Sya,” katanya sambil mengenggam tangan Asya. Asya kaget setengah tidak percaya. Pantas aja kemarin-kemarin Rana dan Pianka kelihatan sibuk sekali ternyata mereka udah mempersiapkan semuanya. Asya menoleh ke arah sahabat-sahabat dan adik-adiknya.
“Kalian udah tahu ya, sejak kapan?” tanya Asya sambil memandang cemberut kepada Sahabat-sahabatnya.
Sementara Andra, Pianka, Rana dan Astrid saling pandang dan saling tersenyum.
“Ok, Penganten baru, kami pamit dulu silahkan menikmati bulan madunya!” ujar Astrid sambil mencubit lengan Widi. Widi tersenyum.
“Eh kalian kemana, aku kok ditinggal, disini aja kita sambil cerita-cerita?” kata Asya menghalangi teman-temannya. Kado kita juga belum dibuka, ntar lagi kita buka kado!” katanya lagi. Andra mendekat.
“Sya buka kadonya besok-besok aja, ntar kami bantuin sekarang kami pulang dulu udah capek nih mempersiapkan rumah ini buat bulan madu kalian berdua,” ujarnya sambil mengipas-ngipaskan bajunya menunjukkan kegerahan.
“Ya benar, kami nggak mau menganggu!” ujar Rana sambil mencubit pipi Asya. Asya tersipu. Lalu Rana menyerahkan kunci ke tangan Widi.
“Kak kunci pintunya ntar ada yang masuk!” ujarnya lagi. Widi tersenyum sambil mengacung jempol. Mereka pergi naik mobil Astrid sambil melambaikan tangan kepada Widi dan Asya. Setelah mereka pergi. Widi menutup pintu. Widi tersenyum dan lalu mengandeng tangan Asya. “Ayo aku perlihatkan kamar kita,” ajaknya. Asya tersenyum. Widi mengajak Asya ke lantai Dua. Tangganya tidak terlalu tinggi tapi cukup bagus. Sesampai di lantai dua disana sudah tertata rapi juga. Lalu Widi mengajak Asya ke sebuah kamar yang cukup besar. Widi membuka pintu. Asya terkejut.
“Indah banget kak?” puji Asya sambil memasuki kamar.
“Kamu suka Sya?” tanya Widi sambil memeluk Asya. Asya mengangguk senang.
“Oh ya kak aku mau mandi dulu sekalian mau shalat Isya!” ujar Asya. Widi tersenyum. Kamu duluan ya, aku memasukkan mobil dulu ke garasi!” sahutnya sambil mengambil kunci mobil. Asya mengangguk. Lalu dia mandi dengan air panas, sangat segar sekali terasa. Selasai mandi dia langsung shalat. Ketika Shalat Isya Widi udah kembali ke kamar. Dan langsung mandi. Selesai mandi dia melihat Asya sudah tertidur di sofa. Dia tersenyum. Lalu dia melaksanakan shalat Isya. Siap shalat dia duduk memperhatikan Asya yang lagi tidur. Kelihatan sekali kalau Asya kecapean. Dia mengangkat Asya ke tempat tidur dan menyelimutinya. Widi tersenyum sambil terus melihat Asya tertidur dengan tenang. Lalu dia mencium kening istrinya dengan lembut dan berbaring disamping Asya sambil memegang tangan Asya. Tiba-tiba Asya terbangun dan membuka matanya. Dia menoleh ke samping. Widi tersenyum menatapnya.
Capek ya Sya?” tanya Widi sambil membelai rambut Asya. Dengan sedikit malu dia tersenyum.
“Aku kok bisa tidur disini? Maaf, aku ketiduran ya Kak,” katanya. Widi hanya tersenyum lalu dia meraih tangan Asya lagi.
“Aku senang sekali, akhirnya aku benar-benar memilikimu Sya,” ujarnya sambil mencium kening istrinya lagi. Asya memejamkan matanya. Lalu dia membuka matanya.
“Aku juga bahagia, akhirnya orang yang aku tabrak  dan yang menolong aku dulu jadi suami aku,” ujar Asya lagi. Widi kaget mendengar kata Asya dan langsung bangun.
“Oh ya, gimana dengan tanganmu dulu, coba aku lihat!” katanya sambil memeriksa tangan Asya. “Ternyata, ada bekasnya ya Sya?” ujar Widi sambil meraba siku tangan Asya. Asya tersenyum. “Tapi kalau bagi aku, dirimu yang selalu membekas dalam hatiku!” katanya sambil mengulum senyumnya.
“Emangnya masih ingat aku setelah kejadian itu?” tanya Asya.
“Selalu!” jawabnya sambil berbaring lagi. “Tapi sayang waktu itu aku lupa minta nomor ponselmu,” katanya lagi. “Namun ternyata waktu selalu mempertemukan kita sehingga akhirnya aku bisa dekat dengan kamu lagi.”
“Kata Bang Andra dulu kalau kita bakalan berjodoh. Eh ternyata memang benar,” tambah Asya lagi. Widi tersenyum.
“Kenapa dia bisa yakin gitu ya?” tanya Widi sambil berpikir. Asya hanya tersenyum. Lalu Widi meraih Asya dalam pelukannya. Malam terus berlalu suasana kamar yang indah memberi keromantisan mereka berdua.
Pagipun datang Asya bangun dengan pelan-pelan. Asya menatap wajah suaminya. Lalu menyelimuti Widi. Tapi tangan Widi meraih tangannya. Asya kaget. Widi membuka matanya sambil memandang mesra Asya. “Udah subuh ya Sya? “ tanyanya.
“Udah kak?” jawab Asya. Widi lalu bangun. Mereka berdua lalu mandi dan shalat subuh berjamaah. Selesai shalat. Asya langsung menuju dapur. Dia mau memasak nasi goreng untuk sarapan mereka pagi itu. Asya udah terbiasa memasak sehingga dia tidak kesulitan memasak nasi goreng. Apalagi semua yang dia butuhkan sudah tersedia di dapur. Selesai memasak. Lalu Asya menghidangkan di atas meja dan juga menaruh dua cangkir teh manis. Ketika dia lagi sibuk menata meja. Widi datang langsung memeluk Asya. Namanya juga penganten baru.
“Wah, istriku pintar memasak ternyata,” pujinya sambil mencium pipi Asya. Asya tersenyum dan mengambil secangkir teh.
“Minum tehnya kak!” kata Asya sambil menyodorkan secangkir teh. Widi menerima sambil menarik kursi dan duduk.
“Makasih Sya,” jawabnya sambil tersenyum menatap istrinya.
“Ayo kita sarapan!” ajak Asya. Mereka berdua sarapan pagi untuk pertama kalinya. Yang tentunya setelah itu melanjutkan bulan madu mereka. Mereka benar-benar bisa menikmati kebersamaan yang selama ini hanya berkutat dengan kesibukan. Asya mengambil cuti satu minggu dan begitu juga dengan Widi.
Beberapa bulan kemudian seperti biasa Widi selalu sibuk bekerja dan begitu juga dengan Asya dia juga tetap bekerja dan hampir meraih gelar Pascanya yang tinggal merampungkan tesisnya. Namun dia tidak terlalu mengalami kesulitan sebab ada Widi yang bisa membantunya. Disamping itu ternyata Asya sudah mulai hamil pula. Jadi menyelesaikan tesisnya merupakan perjuangan yang cukup berat baginya. Di usia kehamilan tujuh bulan dia menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar pasca sarjananya dengan nilai yang bagus. Ketika di wisuda sudah ada suaminya sebagai pendampingnya. Jadi sekarang dia lebih fokus kerja dan bisa pulang lebih cepat tanpa perlu lagi pergi kuliah. Di hari Sabtu dan Minggu dia bisa bersantai di rumah.
Sekarang usia kehamilannya udah mencapai 9 bulan. Widi dan Asya  udah tak sabar menunggu kelahiran anak mereka. Setelah melalui perjuangan berat, pagi itu Asya melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan mengemaskan sekali. Ibu dan Bapak Widi serta Papa dan mama Asya sangat bahagia. Begitu juga dengan Widi. Widi selalu tidak sabaran ingin cepat pulang dan mengendong anaknya. Bahkan kalau si kecil rewel pada malam hari malah dia juga ikut bangun dan membantu Asya mengganti pakaian si kecil yang basah. Mereka berdua sangat bahagia.
Namun kebahagiaan itu diganggu oleh orang yang tidak menyukainya.. Sementara orang tua mereka sudah kembali ke rumah masing-masing. Beberapa hari kemudian Widi kelihatan sangat gelisah. Asya melihat perubahan yang terjadi pada suaminya. Setelah menidurkan anaknya. Asya mendekati suaminya. Ketika Asya datang  Widi tersenyum sambil memegang tangan Asya.
“Ada apa kak, ada masalah?” tanya Asya sambil duduk disampingnya. Dia hanya tersenyum sambil mengelengkan kepalanya.
“Nggak, gimana udah tidur Rezkinya?” tanya Widi sambil memandang istrinya. Tapi Asya merasakan ada kegundahan di hati suaminya. Mungkin suaminya butuh waktu untuk menyelesaikannya.
“Kak kalau ada masalah, bagi dengan aku ya, mana tahu aku bisa bantu?” kata Asya sambil memandang Widi. “Tenang Sya, nggak ada apa-apa kok,” jawabnya. “Ayo kita tidur?” ajaknya sambil meraih tangan Asya menuju ke kamar.
Ketika mau berangkat ke kantor Widi menerima telepon. Setelah menerima telepon itu dia kelihatan cemas sekali. Dan lalu menelepon lagi. Kebetulan Asya mendengar Widi menerima telpon tadi. Ada sedikit percakapan yang sempat dia dengar.
“Pak, gimana ini, apa kita batalkan aja proyek kali ini?” terdengar suara  Widi. Terdengar lagi. “Mereka nggak main-main kayaknya Pak. Aku nggak mau terjadi sesuatu terhadap keluargaku. Ya Pak, kita ketemu di kantor Aja,” katanya menutup telepon.
Asya mulai mengerti memang ada masalah di perusahaan kayaknya. Asya paham sekali kalau antar perusahaan memang kadang ada hal-hal seperti itu. Tapi mengapa suaminya kelihatan ketakutan sekali.
Keesokan harinya terdengar telepon berdering di ruang tengah. Terdengar sekali kalau Widi sangat marah menjawab telepon itu. Karena saking penasaran dan tak tega melihat suaminya seperti itu. Asya mencoba mengangkat telpon yang ada di ruang atas kebetulan teleponnya paralel. Betapa kagetnya Asya mendengar kalau orang yang menelpon Widi mengancam akan menyebarkan foto-foto yang berisi rumor tentang Widi. Dan terdengar lagi. “Gimana dengan istri kamu, kalau seandainya dia menerima berita seperti ini. Aku yakin sekali dia pasti akan mengamuk kata orang itu.”
“Aku tak pernah berbuat seperti itu karena aku bukan orang seperti itu,” jawab Widi.
“Yah aku juga tahu, kamu tidak akan berbuat seperti itu tapi gimana kalau seandainya istri kamu mendapatkan paket yang aku kirimkan ini. Kalau kamu benar-benar mencintai istrimu dan tak mau terjadi apa-apa dengan dia. Aku sarankan kepada kamu untuk tidak mengikuti tender ini?” kata orang itu lagi.
“Emang kamu siapa bisa mengatur-atur aku?” jawab Widi lagi. Asya mulai mengerti jadi ini permasalahannya. Aku tak mau membuat suamiku terbebani dengan permasalahan ini terlalu lama.
Lalu Asya melangkah turun dan menatap Widi yang lagi duduk termenung. Asya membawakan segelas air minum dan menyodorkan kepada Widi.
“Minum dulu kak!” kata Asya. Widi tersenyum lalu meminumnya. Dia menghela napas berat sekali. Dia memandang ke wajah Asya dengan pandangan khawatir. Asya langsung memeluk suaminya.
“Aku nggak apa-apa kok kak, jangan khawatir!” ujar Asya sambil memandang ke wajah suaminya. Widi heran.
“Jangan marah ya, aku tadi dengar pembicaraan kamu dengan orang yang menelpon tadi,” ujar Asya lagi. Widi kaget.
“Maaf ya kak jangan marah! Bukan maksud aku menguping pembicaraannya. Tapi aku khawatir banget dengan kamu kak. Kamu tidak bisa tidur dan makan dengan tenang setiap kali menerima telpon.” Widi tersenyum dan langsung memeluk istrinya dan mencium kening istrinya.
“Maaf ya Sya aku telah membuat kamu cemas?” ujarnya. “Aku sangat mengkhawatirkan kamu Sya! Aku takut terjadi apa-apa dengan kamu. Apalagi kamu baru melahirkan seperti ini!” katanya lagi.
“Tenang kak, aku bukan perempuan lemah kok. Aku selalu yakin suamiku akan selalu menjaga hatinya untukku!” katanya menyakinkan Widi. Widi tersenyum lega.
“Terima kasih Sya, atas kepercayaanmu. Aku janji akan selalu menjaga hatiku karena aku sudah memberikannya hanya untukmu,” ucapnya yakin dengan rona wajah cerah dan seperti lepas dari sesuatu yang menghimpitnya beberapa hari belakangan ini.
“Lanjutkan aja mengikuti tender itu kak, kita tunggu aja, apa mau mereka,” tantang Asya. Widi tersenyum, lalu dia memegang perutnya.
“Aku lapar,” katanya. Asya tertawa kecil.
“Jadi sekarang baru lapar?” tanya Asya. Widi menganggukkan kepalanya.
“Ayo udah aku siapkan!” ajak Asya. Widi langsung menuju meja makan. Asya mengambilkan nasi dan menyerahkan kepada suaminya. Suaminya bisa makan dengan penuh semangat. Asya tersenyum melihatnya. Mungkin karena beberapa hari ini dia tidak bisa makan dengan tenang. Setelah selesai makan dia pamit pergi kerja. Sedang Asya masih cuti karena baru melahirkan. Asya senang sekali melihat suaminya sudah seperti biasa lagi.
Memang benar teror-teror udah mulai dilancarkan. Dengan mengirimkan foto-foto, telpon dan WA yang membakar emosi. Tapi itu semua tidak menghalangi perjuangan Widi untuk memenangkan tender tersebut. Seberapa kuat orang untuk menghancurkan kehidupan rumah tangganya tapi akhirnya kekuatan cinta jugalah yang menjaganya.
Widi melangkah memasuki kamar sambil tersenyum. Dia menaruh jasnya di atas Sofa. Terlihat Asya tertidur, disampingnya juga tertidur sosok kecil yang imut dengan wajah tanpa dosa. Widi membungkukkan badannya mencium dua sosok yang tertidur di hadapannya satu persatu. Asya terbangun.
“Udah pulang kak?” katanya sambil bangun. Widi berdiri sambil tersenyum. Asya bangun dan berdiri. “Aku bikin minum dulu ya,” ujarnya lagi.
“Udah disini aja!” katanya sambil melingkarkan kedua tanganya di pinggang Asya.  “Terima kasih sayang, atas dukungannya, kita memenangkan tender tersebut?” ucapnya menatap Asya.
“Benar kak? Aku senang sekali mendengarnya. Selamat ya kak,”  kata Asya dengan wajah senang menatap Widi. Widi semakin mempererat pelukannya sambil membelai rambut Asya. Dia merasa lega sekali. Dia memejamkan matanya sambil terus memeluk istrinya. Ada kedamaian dalam dirinya setiap kali kalau dekat dengan Asya. “Oh ya Sya, besok Ibu katanya mau mengirim orang yang akan bantu urus rumah dan pengasuh Rezki juga! Aku nggak tega melihat kamu harus mengerjakannya sendiri apalagi nanti kalau kamu kembali kerja. Trus siapa yang jaga anak kita!” ujarnya duduk di tepi tempat tidur sambil membuka bajunya. Asya mengambil baju ganti dan menyerahkan kepada Widi.
“Terima kasih ya kak, atas perhatiannya,” ucapnya sambil memasangkan kancing piyama Widi. Widi tersenyum menatap ke wajah Asya. “Enak aja orang-orang itu mau memisahkan kita, aku aja masih ingin punya anak dengan istriku yang cantik ini satu lagi!” ujarnya. Asya langsung mengerutkan kening.
“Emangnya mau punya anak lagi?” tanya Asya.
“Iya, aku masih mau punya anak perempuan yang cantik dan baik kayak ibunya!” jawabnya sambil menatap wajah Asya.
“Tapi nggak pakai kilat khusus lagikan?” seloroh Asya. Widi tertawa sambil menyentil hidung Asya.
“Kamu masih ingat aja,” jawabnya dengan sedikit malu.
“Iyalah,” jawab Asya tersenyum. Widi juga tersenyum tipis.
“Kak kamu udah makan malam? Maaf tadi ya, aku makan duluan sebab kutunggu-tunggu kamu nggak pulang-pulang juga, makanya aku duluan?” ujar Asya.
“Nggak apa-apa, aku udah makan di rumah Ibu tadi sekalian menanyakan masalah orang yang akan membantu kamu itu,” jawabnya. Asya tersenyum.

Keesokan harinya datanglah Mbok Imah dan Tini yang akan membantu Asya. Asya menunjukkan kamar mbok Imah dan Tini. “Mbok,  Tini, ini kamarnya ya! Semoga betah ya kerja di sini!” ujar Asya sambil tersenyum. “Makasih buk, ternyata Buk Retno benar, cerita tentang Ibu Asya,” jawab Mbok Imah sambil memandang kagum pada Asya. Asya tersenyum sambil berpikir. “Ibu cerita apa sama mbok?” tanya Asya ingin tahu. “Nggak kok, cuma Ibu bilang kalau menantunya itu baik, ternyata benar?” puji Mbok Imah sambil tersenyum kecil. “Iya Bu Asya juga cantik dan lembut lagi,” Tini juga ikut memuji Asya.
“Aduh, Mbok ama Tini ini bikin aku geer aja nih,” jawab Asya sambil tersipu malu. “Kalau gitu aku tinggal ya!” kata Asya lagi. Mbok Imah dan Tini menganggukkan kepala. Mereka kelihatan senang sekali bisa bekerja dengan  keluarga Asya. Setelah menaruh pakaian mereka langsung bekerja melaksanakan tugas.
Hari sudah sore terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Mbok Imah langsung membuka pintu. “Sore den,” sapa Mbok Imah.
“Sore Mbok?” jawab Widi masuk terus menaiki tangga. Widi masuk kamar terlihat Asya lagi mengendong Rezki. Asya menoleh sambil memberi tanda sebab Rezki mau tidur. Widi tersenyum dan menaruh tasnya dengan pelan. Setelah itu Asya menidurkan Rezki. Sesaat kemudian.
“Gimana hari ini Kak, lancar kerjanya?”
“Lumayan Sya, ini kan udah akhir semester dua hari kedepan udah libur. Jadi bisa konsen kerja di kantor aja,” jawabnya sambil duduk. Asya mendekat dan memijit pundak suaminya. “Capek ya kak?” tanyanya lagi. Widi tersenyum.
“Kalau udah sampai rumah begini capeknya udah hilang apa lagi kalau udah di pijit oleh istri seperti ini,” jawab Widi menikmati pijitan Istrinya.
“Ah bisa aja,” sahut Asya. “Oh ya kak beberapa minggu lagi aku juga udah kerja,” ujar Asya.
“Nggak apa-apa kok, ntar berangkat paginya aku antar aja dan pulangnya aku jemput lagi!” jawab  Widi. Asya mengangguk.
“Kak istirahat dulu ya! Jangan lupa mandi lho! Aku bantu Mbok Imah masak dulu,” kata Asya. Widi mengangguk dan membaringkan tubuhnya di kasur. Asya pergi ke dapur untuk memasak. Setelah semua selesai. “Mbok dimasukkan ke piring ya dan langsung di taruh di atas meja makan!” kata Asya.
“Iya buk,” jawab Mbok Imah.
Asya kembali ke kamar untuk mandi. Sesampainya di kamar dia tersenyum melihat suami tertidur. Tapi dia membiarkan saja. Dia langsung mandi. Setelah selesai mandi baru dia membangunkan suaminya.
“Kak bangun! Udah mau Magrib nih!” kata Asya membangunkan Widi. Widi membuka mata sambil memandang istrinya.
“Udah mandi ya?” tanyanya melihat Asya yang sudah segar. Asya mengangguk.
“Aku mandi dulu?” jawabnya sambil bangkit dan menerima handuk dari Asya.
Setelah mandi dan shalat magrib Asya dan Widi lalu turun untuk makan. Asya mengambilkan nasi dan menyerahkan kepada Widi. Widi mengambil sayur dan lauknya. Dia mulai makan. Asya juga ikut makan.
“Gimana kak, apa enak?” tanyanya.
“Enak banget, kalau istriku yang masak pasti enak,” jawabnya sambil terus makan.
 “Memang benar den. Ibu Asya pintar masak,” pujinya Mbok Imah sambil menaruh buah. Widi tersenyum bangga melihat istrinya.
“Ah mbok ini bisa aja,” sahut Asya tersipu. Setelah selesai makan Widi  pergi ke ruang tengah sambil menyetel TV. Asya mulai membereskan meja makan.
“Biar aku aja bu Asya,” kata Mbok Imah.
“Makasih ya Mbok,” jawab Asya. “Eh Mbok sekalian makan aja. Tininya mana?” tanya Asya.
“Mbok makannya ntar aja Buk nunggu Tini yang lagi mensetrika baju,” jawabnya.
“Nggak kelamaan lagi, kalau menunggu selesai. Panggil aja Tininya ntar aja dilanjutkan mensetrika bajunya, makan dulu! Matikan aja dulu setrikanya!” kata Asya. Mbok Imah mengangguk terus memanggil Tini untuk makan. Mbok Imah dan Tini sangat kagum pada Asya, sangat beda dengan majikan biasanya.
“Mbok Pak Widi beruntung kali ya dapat Istri seperti Ibu Asya, orangnya baik, cantik dan juga pintar masak lagi,” kata Tini. Mbok Imah mengangguk sambil tersenyum.
“Iya,” jawab Mbok Imah. “Aku senang banget kalau den Widi yang udah aku jaga sejak kecil dapat Istri seperti Ibu Asya. Semoga mereka selalu bahagia,” katanya lagi. Mereka berdua sangat kagum pada kebahagiaan Asya dan Widi.
Bel berbunyi. Mbok Imah membuka pintu.
“Cari siapa ya?” tanya Mbok Imah pada tamu itu.
“Ada mas Widi?” balik dia bertanya
“Oh, Den Widi  lagi pergi, yang ada istrinya,” jawab Mbok Imah.
“Bisa saya bertemu dengan istrinya!” kata perempuan itu lagi.
“Ya sebentar silahkan duduk,”  ujar Mbok Imah mempersilahkan perempuan itu duduk di ruang tamu. Mbok Imah pergi ke atas untuk memanggil Asya.
“Buk, ada tamu,” kata Mbok Imah sambil mengetuk pintu kamar.
“Ya Mbok bentar, suruh tunggu!” jawab Asya. Asya melangkah menuruni tangga terlihat di ruang tamu sedang duduk perempuan muda cukup cantik.  Dada Asya sedikit berdesir ada perasaan yang tidak enak. “Siapa ya, ada perlu apa?” tanya Asya.
“Oh Mbak, aku Dian salah satu mahasiswa Mas Widi, ” katanya sambil berdiri mengulurkan tangan.
“Aku Asya,” jawab Asya sambil tersenyum. “Silah duduk!” katanya lagi. Dian memandang Asya dengan seksama dari atas sampai ke bawah. Lalu dia menunduk dengan wajah sendu. Asya heran melihat Dian.
“Ada apa Dian?”
“Ini Mbak, aku mau minta pertanggungjawaban sama Mas Widi !” ucapnya terus menunduk.
“Pertanggungjawaban apa?” tanya Asya  dengan perasaan tidak enak.
“Maaf ya Mbak. Beberapa bulan yang lalu aku dan Mas Widi telah melakukan.... Dia berhenti bicara. Jantung Asya berdebar kencang. Mbok Imah dan Tini yang mendengar dari dalam tersentak kaget. “Dan sekarang aku sedang hamil,” lanjutnya lagi sambil menangis. Asya terdiam dan berusaha menguasai diri. Dia berpikir dalam hati, apa ini masih salah satu perbuatan lawan bisnis suaminya atau tidak pikirnya. Dian lalu turun dan memegang kaki Asya. Asya kaget sekali. “Tolong aku mbak!” katanya sambil terus menangis. Asya berusaha menahan emosi.
“Dian ayo duduk!” ujar Asya sambil membawa Dian kembali duduk di kursi. “Tenang ya, nanti aku bicara dengan Kak Widi,” kata Asya sambil menahan gejolak di dadanya.
“Terima kasih  ya Mbak, kalau gitu aku pamit dulu!” ujarnya lagi.
Setelah Dian pergi Asya terduduk di  kursi. Melihat itu semua Mbok Imah dan Tini merasa kasihan sama majikannya dan langsung mengejar Asya. Tini mengambil Air.
“Bu yang sabar ya. Aku nggak yakin kalau den Widi seperti itu. Aku udah kenal den Widi sejak kecil. Dia bukan orang seperti itu. Jangan banyak pikiran dulu, ntar ibu sakit kasihan Rezkinya,” kata Mbok Imah menenangkan Asya. Asya  yang sedari tadi menahan tangis lalu memeluk Mbok Imah dengan isak tangis tertahan. Mbok Imah berusaha menenangkan Asya.
“Bu minum dulu biar tenang!” kata Tini sambil memberikan segelas air kepada Asya. Asya meminumnya.
“Makasih Tin!” Tini mengangguk cemas melihat Asya. “Lebih baik Ibu istirahat dulu,” lanjutnya. Lalu Mbok Imah dan Tini mengantar Asya ke kamar.
Asya melihat Rezki yang menangis. Mungkin dia juga merasakan apa yang dirasakan oleh Ibunya. Lalu dia mendekati Rezki.
“Ibu istirahat aja, biar aku yang mengendong Rezki,” kata Tini sambil mengendong Rezki. Asya  lalu berbaring di tempat tidur. Setelah Rezki tidur lalu dia memasukkannya ke tempat tidurnya. Dan meninggalkan Asya di kamar.
Beberapa saat kemudian mobil Widi memasuki halaman. Mbok Imah langsung membuka pintu menyambut Widi.
“Sore Mbok,” sapa Widi sambil tersenyum.
“Sore den,” jawab Mbok Imah dengan wajah cemas. Widi melihatnya heran.
“Ada apa Mbok?” tanya Widi sambil memegang pundak Mbok Imah. Lalu Mbok Imah menceritakan kejadian tadi. Mendengar itu Widi terkejut sekali.
“Den aku cemas sekali dengan Ibu Asya!”
“Tenang Mbok! Aku akan mengurusnya! Asya dimana?” tanya Widi.
“Di kamar Pak!” jawab Tini yang baru turun menidurkan Rezki. Widi langsung pergi ke atas. Sesampainya di kamar dia melihat Asya sedang berbaring dengan diam.. Widi tahu sekarang Asya sedang marah. Sangat susah baginya untuk menjelaskan. Dia diam sesaat menunggu apa yang dikatakan oleh Asya. Setelah itu dia mendekat mengenggam tangan Asya.
“Sya, aku tidak pernah berbuat apapun dengan perempuan lain. Aku selalu menjaga hatiku.” Mendengar Widi berkata demikian. Asya membalikkan tubuhnya lalu bangun. Menatap ke wajah suaminya. Matanya sudah sembab. Kembali jatuh satu persatu air matanya. Melihat demikian Widi langsung memeluk Asya. Hatinya sangat teriris melihat Asya seperti itu. Sebab dia telah berjanji pada dirinya untuk tidak pernah mengkhianati Asya. “Apapun yang aku jelaskan sekarang pasti kamu tidak akan percaya. Jadi lebih baik kita lihat aja.” Lalu dia mengambil komputer jinjingnya. Asya hanya melihat apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Widi memanggil Mbok Imah dan Tini. Mereka diajak untuk melihat hasil rekaman CCTV di rumah dari awal Dian datang sampai Dian pergi.
“Oh dia. Anak ini mahasiswa semester akhir. Aku salah satu dosen pembimbingnya. Aku nggak pernah pergi kemana-mana dengannya. Hanya di kampus aja. Lagian urusan dengan aku cuma bimbingan tentang skripsi aja nggak ada yang lain.” Widi menjelaskan. “Baiklah kita coba menghubungi dia!”
“Assalamu’alaikum Dian,” kata Widi.
“Waalaikumsalam Pak, jawabnya.
“Oh ya Dian, gimana dengan skripsinya, udah selesai?” tanya Widi.
“Udah Pak,” jawabnya lagi.
“Trus copiannya kok belum sampai padaku, sementara teman-teman kamu yang lain udah? Tinggal kamu sendiri yang belum?” tanya Widi.
“Ya Pak waktu itu aku cari Bapak di Kampus tidak ada. Sekarang Bapak dimana?” tanya Dian.
“Aku sekarang mau pulang. Gimana kalau kamu antar aja ke rumahku?” pancing Widi.
“Hmm... gimana kalau aku memberikannya di kampus aja Pak?” balik dia bertanya seolah dia mau menghindar.
“Baiklah kalau gitu. Besok aku tunggu!” jawab Widi lagi sambil menutup ponsel.
“Kan nggak ada apa-apa antara aku dengan dia. Dia aja bicara seperti itu. Nggak pernah macam-macam. Tapi kok bisa dia seperti itu kesini ya?” pikir Widi. Ada sedikit lega di hati Asya. Begitu juga dengan Mbok Imah dan Tini.
Keesokan harinya Widi mengajak Asya ke kampus. Dian akhirnya mengakui kalau sebenarnya dia berbohong. Dia mengakui sebenarnya sudah lama menyukai Widi. Tapi dia kecewa ketika dia tahu kalau Widi sudah menikah dengan Asya. Makanya dia pergi menemui Asya ke rumah. Dian mohon-mohon pada Widi dan Asya agar masalah itu tidak sampai ke pihak kampus.  Kalau hal itu sampai ke pihak kampus dia takut wisudanya terancam batal dan tentu akan mempengaruhi nilainya juga. Karena kasihan akhirnya Asya dan Widi memaafkannya. Dan dia berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Sampainya di rumah. Asya udah lega sekali dan begitu juga dengan Mbok Imah dan Tini.
“Sekarang gimana udah nggak marah lagi kan?” tanya Widi menatap istrinya. Asya menggelengkan kepalanya.
“Jadi susah juga kalau suami ganteng kayaknya. Perlu ekstra keras menjaganya!” ujar Asya sambil melirik suaminya. Widi tersenyum.
“Aku lagi yang paling takut kalau kamu diambil orang?” ucapnya. Asya mengerutkan keningnya. “Ya, kamu masih ingat Irga nggak? Itu yang memegang tangan kamu paling lama waktu Astrid Ulang Tahun?” kata Widi. Asya berpikir lalu menganggukkan kepala.
“Emangnya kenapa dengan dia?” tanya Asya.
“Dia salah satu rekan bisnisku. Dia itu suka sekali dengan kamu. Setiap kali ketemu aku dia selalu menanyakan kamu. Dan memuji-muji kamu. Selama di Pesta hari itu dia selalu menatap kamu aja. Begitu juga dihari pernikahan kita. Bahkan dia pernah bilang sama teman aku yang lain. Kalau aku nggak juga menikahi kamu maka dia akan mengambil kamu dari aku katanya,” kata Widi dengan kesal.
“Tapi waktu Astrid ulang tahun, kita..” kata Asya berhenti.
“Makanya aku cepat-cepat menembak kamu dan ingin menikah dengan kamu ntar di ambil dia lagi,” katanya  sambil memeluk Asya. Asya tertawa mendengarnya.
“Pantas aja waktu itu bilang pakai kilat khusus ya,” goda Asya sambil melihat kewajah suaminya. Widi tersenyum sambil terus memeluk Asya.
“Gimana kalau ulang tahun pernikahan kita besok ini kita jalan-jalan keluar negeri,” tanya Widi sambil menatap Asya. Asya berpikir.
“Hmmm, baik?” jawab Asya.
“Kamu setuju?” kata Widi. Asya mengangguk. “Aku senang sekali berarti Rezki udah lumayan cukup besar untuk berpergian,” tambah Widi. Asya tersenyum lagi sambil mengangguk.
“Kita ajak Mbok Imah dan Tini ya. Biar rame?” kata Asya lagi.
“Kalau gitu sekalian kita ajak Rana, Astrid, Andra dan Pianka juga?” tambah Widi. Asya tersenyum. Lalu mencium Widi dan memeluknya dengan senang sekali.
“Terima kasih ya kak. Aku senang sekali kamu mau mengajak mereka semua,” kata Asya sambil merebahkan kepalanya di dada Widi.
“Sama-sama,” katanya. Dia sangat senang melihat Asya bahagia. Dia bangga pada istrinya yang baik selalu berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Widi mencium kening Asya sambil terus memeluk istrinya. Dia berjanji dalam hati tidak akan pernah membuat luka hati istrinya. Dia juga lega akhirnya masalah dapat diselesaikan dengan baik.
Setelah beberapa bulan kemudian yang ditunggu pun datang. Semua sudah siap untuk berangkat liburan. Sebelum berangkat mereka pamitan pada Ibu, Bapak dan Mama Papa Asya.
“Wid, tolong jaga cucuku ya?” ujar Mama Asya.
“Tenang Ma, jangan khawatir!” jawab Widi sambil mencium pipi Rezki. Rezki tersenyum dan gembira sekali nampaknya. Matanya yang bulat memancarkan kelucuan. Tangan dan kakinya yang terus bergerak membuat kita semakin gemes melihatnya.
“Kalian baik-baik lho di jalan!” kata Ibu Retno. Asya tersenyum sambil mengangguk. Mereka semua bersalaman  dan langsung pamit berangkat.
 “Bang kita akhirnya bisa pergi ke luar negeri juga ya,” kata Pianka. Andra tersenyum.
“Benar Ka, ini berkat Asya juga!” jawab Andra sambil tersenyum senang.
“Makasih ya Kak Widi, telah ajak aku juga,” kata Rana.  Widi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Astrid yang melihat ikut tersenyum.
“Mbok aku senang, bisa pergi jalan-jalan keluar negeri seperti ini!” kata Tini. Mbok Imah juga tersenyum senang.
“Aku bersyukur sekali punya majikan seperti den Widi dan Buk Asya mereka orangnya sangat baik,” ujar Mbok Imah memuji Asya dan Widi. Tini tersenyum senang sambil memandang Widi dan Asya.
Lalu rombongan itu menaiki pesawat untuk tujuan pertama mereka ke Korea,, Jepang terakhir nantinya di Amerika. Mereka sangat senang sekali. Begitu juga dengan Rezki dia sangat senang. Dia tahu kalau akan berlibur ke luar negeri. Widi mengendong Rezki disusul oleh Asya di belakangnya. Mereka duduk berdampingan. Asya merebahkan kepalanya ke bahu Widi. Sementara tangannya memegang lengan Widi. Widi memegang tangan Asya juga sambil tersenyum dan mencium kening Asya. Mereka sangat bahagia sekali.

Senin, 06 Januari 2020

SENYUMMU HARAPANKU (PART 2)

       Sejak itu Pak Rianto sering memberi kabar. Saat ini dia sangat sibuk sekali menyelesaikan yprogram S3. Aku juga sibuk jadi aku tidak sempat pula untuk mengunjungi dia. Tak terasa musim liburan sudah dekat tinggal dua minggu lagi. Aku berencana untuk pulang melihat orang tuaku. Aku sudah memberitahukan kepada Sri, kalau aku mau liburan di Indonesia.
       Ketika aku pulang kuliah, perasaanku tidak enak sekali. Ada apa ya. Kalau Sri keadaannya baik-baik saja. Juga keadaan orang tuaku baik-baik saja. Gimana dengan Pak Rianto. Lalu aku mengirim pesan melalui WA. Agak lama juga WA ku dibalasnya. Beberapa saat kemudian dia membalasnya dan mengatakan kalau dia tidak enak badan. Lalu aku berangkat menuju apartemennya. Aku kaget sekali. Dia ternyata sakit, badannya panas, asisten rumah tangganya juga berhalangan masuk baru besok bisa datang. Lalu aku mengompres kepalanya yang panas sekali. Dia menyuruh menelpon dokternya. Setelah dokter datang dan memberinya obat. Dokter menyarankan agar dia istirahat dulu untuk beberapa hari ini. Karena kondisi dia sangat parah. Maka aku memutuskan menjaga dia malam ini. Setelah memberikan obat dia tertidur. Lama sekali dia tertidur, baru bangun jam 12.00 malam dan minta minum. Kasihan juga dia jauh di negeri orang tidak ada yang merawatnya. Apalagi asistennya tidak bisa datang.
       Panasnya sudah mulai turun. Karena sudah dini hari akhirnya tanpa sadar aku juga tertidur di kursi. Aku terbangun setelah ponsel ku berbunyi tanda shalat subuh. Aku bangun dan berdiri mendekati Pak Rianto yang masih tertidur. Aku raba keningnya sudah mulai dingin. Aku terus ke kamar mandi dan berwudhuk shalat subuh. Aku kembali kekamar Pak Rianto dia masih tertidur mungkin pengaruh obat. Setelah itu aku ke dapur memasak bubur. Beberapa saat kemudian dia terbangun.
       “Pak makan bubur dulu. Mumpung masih panas!”
       “Aku nggak selera An,” jawabnya lemah.
       “Bapak harus makan biar bisa minum obat,” bujukku.
        Dengan sedikit terpaksa. Dia mau juga. Lalu aku menyuapi dia bubur. Dia letih sekali. Hanya empat sendok yang bisa dimakannya dia sudah tak mau. Setelah itu aku memberikan obat.
       “Pak, kalau asisten Bapak sudah datang, aku pulang ya, jam 10.00 aku ada kuliah.”
       “Maaf ya An, kamu jadi repot.”
       “Oh, nggak apa-apa kok Pak, Bapak istirahat aja!”
        Dia kembali memejamkan matanya. Sesaat kemudian asistennya datang. Dan aku berpesan kepada asistennya untuk menjaga dia. Asistennya cukup baik orangnya. Dia sudah lama bekerja dengan Pak Rianto. Semenjak Pak Rianto Kuliah S2 dulunya.
Selesai kuliah aku kembali mampir ke tempat Pak Rianto melihat kondisinya. Dia sudah mulai mendingan tapi masih berbaring karena masih lemas sekali.
       “Gimana Pak kondisinya?” Dia menoleh ke arahku. Dan tersenyum.
       “Aku udah merepotkan kamu ya  An.”
       “Ah, biasa Pak. Aku kan karyawan Bapak yang cukup punya dedikasi tinggi.” Dia tersenyum.
       “Kamu ini. Sekarang kamu kan bukan karyawanku. Kamu kan sekarang mahasiswa.” Tambahnya dengan suara pelan.
       “Sekarang aku jadi mahasiswa merangkap karyawan pribadi Bapak.” Kataku menghibur dia. Dia hanya tersenyum lemas. Aku menemani dia sampai sore.
       “Pak aku pamit dulu, beberapa hari kedepan aku punya jadwal yang sangat padat. Mungkin aku tidak bisa melihat Bapak ke sini.”
       “Tidak apa. Kamu fokus aja dengan kuliahmu. Kamu mau dapat nilai yang baik bukan? Lagian di sini sekarang ada asistenku.”  .
       “Cepat sembuh ya Pak!” Dia mengangguk sambil tersenyum.
       “Kamu juga, jangan tidur terlalu larut malam!”
        Setelah aku disibukkan beberapa hari ini. Akhirnya selesai juga semester ini. Dengan nilai yang memuaskan. Tak sia-sia aku jauh-jauh menuntut ilmu ke negeri orang. Kan nggak lucu kalau cuma dapat nilai biasa-biasa saja. Aku tersenyum bangga dan bersyukur kepada Allah dengan keberkahan yang aku dapatkan.
        Aku kembali teringat dengan pak Rianto. Gimana dengan kondisi dia ya. Aku sampai di apartemennya. Dia sudah duduk dan mulai berjalan-jalan untuk menyegarkan badannya. Meskipun hanya di dalam apartemennya saja. Itu cerita yang aku dengar dari asistennya. Aku mengetuk pintu kamarnya. Dia lagi duduk di atas tempat tidurnya sambil bersandar.
       “Pagi Pak.”
       “Pagi,” jawabnya dengan sedikit cool. Memang itulah kebiasaannya.
       “Silahkan duduk!” Aku duduk di kursi.
       “Gimana dengan keadaan Bapak?”
       “Udah mendingan An,” jawabnya. “Terus gimana dengan kamu, apa nilainya bagus?”
Aku tersenyum dan dengan penuh semangat aku mengacungkan jempolku. Dia tersenyum.
       “Baguslah. Jadi kamu liburan ke Indonesia?”
       “Itulah Pak aku memang ingin liburan ke Indonesia. Tapi aku memikirkan keadaan Bapak.”
       “Tidak apa aku sudah sehat kok. Ini karena aku terlalu lelah. Sekarang sudah mendingan. Ketika kamu berangkat beberapa hari lagi. Aku mungkin sudah benar-benar pulih,” tegasnya.
       “Bapak yakin?”
       “Yakinlah. Aku selalu berusaha yakin dengan apa yang aku katakan.”
       “Oh, ya aku lupa..” Kata ku sambil menaikkan bahuku.
       “Apa kamu meledekku?” tanyanya ingin tahu.
       “Ah tidak..” Aku menggelengkan kepalaku.
       “Apa aku seperti meledek Bapak?”
       “Entahlah, kamu kian hari makin pintar aja kalau bicara,” balasnya lagi. Aku tersenyum.
       “Kalau gitu aku pulang dululah Pak.”
       “Bentar An. Coba kamu lihat amplop yang di atas meja ku itu!” Pak Rianto menunjuk ke atas meja kerjanya. Aku melangkah dan menyerahkan amplop itu. “Kamu buka sendiri amplop itu!”  Aku lalu membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat dua tiket pesawat pulang pergi.
       “Untuk siapa ini Pak, apa Bapak mau pulang juga, karena Bapak sakit?” selidikku.
       “Itu tiket buat kamu lihatlah kan atas nama kamu!”
       “Lho...,” aku tercengang. Dan kembali melihat kearah Pak Rianto.
       “Itu hadiahku buat kamu!”
       “Hadiah buat aku. Oh nggak usah Pak aku beli tiket sendiri aja!” tolak ku sambil meletakkan amplop itu di atas tempat tidur dia.
       “Kamu tidak mau menerima hadiah dari aku?” Dia memandang ku dengan serius.
Aku jadi sedikit ciut juga kalau dia berbicara seperti itu.
       “Bukan begitu Pak. Aku jadi ndak enak sama Bapak.” Dia tersenyum dan mengambil   amplop tadi. Dan menyodorkan amplop itu.
       “Ini serius aku belikan buat kamu, kamu jangan merasa tidak enak. Aku tidak minta untuk diganti kok dan juga biaya bunganya!” Aku jadi tersenyum mendengar perkatannya dengan kata bunga itu.
       “Benar Pak?” tanya ku sambil menyambut amplop itu.
       “Benar..,” katanya sambil mengangguk dengan raut wajah meyakinkan.
       “Kalau begitu aku terima Pak. Makasih atas tiket ini.”  Dia tersenyum sedikit dengan wajah penuh wibawa.
       “Kabari aku kalau kamu berangkat!”
       “Ya Pak. Aku pamit dulu.”
        Betapa senangnya aku dapat tiket pulang pergi gratis. Tapi aku masih mikir-mikir kenapa Pak Rianto membeli aku tiket. Apa karena aku mengatakan mikir-mikir mengeluarkan uang untuk biaya pulang. Atau dia merasa berterima kasih karena ku telah merawat dia. Ah, entahlah aku jadi pusing mikirnya. Tapi yang pasti aku pulang liburan ini. Dan bisa ketemu keluarga dan juga sohib-sohib tercinta. Aku ingin memberi kejutan buat mereka tanpa memberi tahu kalau aku akan pulang.
        Hari yang aku tunggu-tunggu datang juga. Musim liburan itulah yang aku tunggu. Pagi itu aku dijemput oleh Pak Rianto. Sesampai di bandara aku turun dari mobil Pak Rianto. Dia Menyerahkan koper ku.
        “Hati-hati di jalan, kabari aku kalau udah sampai! Salam buat keluargamu!”
        “Tentu Pak, aku sampaikan,” jawabku sambil tersenyum.
        “Bapak juga jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk-sibuk dulu!” Aku juga mengingatkan dia. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Dia tersenyum. Itulah gaya dia yang membuat kami dulu sangat penasaran dengannya. Berwibawa, agak sedikit cool dan tersenyum tipis yang menjadi ciri khas dia. Aku melangkah masuk dan tak lupa melambaikan tangan ke arah Pak Rianto, dia membalasnya.
          Setelah cukup lama di atas pesawat akhirnya pesawatnya mendarat juga. Aku mencari taksi dan langsung menuju Rumah orang tuaku. Aku senang sekali berjumpa dengan orang tuaku dan keluarga ku yang lain. Aku bercerita ini itu. Pokoknya lega sekali. Tak lupa pula aku mengabari Pak Rianto kalau aku sudah sampai.
          Aku senang sekali, karena kecapean aku tertidur pulas. Keesokan harinya ku berangkat ke tempat kerjaku tanpa memberi kabar pada teman-temanku. Aku mengetuk pintu kantor. Aku membuka pintu itu.
          “Assalamu’alaikum...” Aku memberi salam
          “Walaaikumsalam...,” jawab Ami yang sibuk bekerja dan mengangkat kepala.
          “Ansi...., kapan kamu datang ?” Teriaknya sambil berlari mengejarku. Aku memeluk dia. Kangen sekali aku sama dia. Lalu melangkah masuk. Teman-teman yang lain juga ikut melihat. Semuanya tersenyum dan menyalamiku. Tiba-tiba Praja menepuk pundakku.
          “Enak ya, tinggal di luar. Tambah cantik aja nampaknya nih?”
          “Ah, kamu Ja. Aku biasa aja!”
          “Ndak-ndak, kamu sekarang beda agak sedikit gimana gitu...” Praja memandangi aku dari atas sampai bawah.
          “Udah!” Kataku sambil mencubit lengannya. Dia meringis kesakitan.
          “Aku bawa oleh-oleh buat kalian semua.”
          “Asyik..,” kata teman-temanku yang lain sambil mengambil oleh-oleh yang aku bawa dan langsung membukanya.
           Lalu Ami menanyakan berapa lama aku disini. Aku mengatakan cuma punya waktu satu minggu. Aku harus kembali lagi. Kami berencana malam ini akan tidur di rumahnya. Kami ingin cerita semalaman.
           “Oh ya, Pak menejer kita dimana?”
            Ami mengatakan Arman sedang menerima tamu. Tak berapa lama tamu Arman keluar. Setelah tamu itu pergi, aku pergi ke ruangan Arman diikuti oleh Praja di belakang.
Praja yang mengetuk pintu. Terdengar suara Arman.
            “Masuk.”
            “Pagi Pak.” Aku memberi salam.
            “Pagi,” jawabnya sambil terus menulis. Tapi dia terhenti, mendengar suaraku dia mengangkat kepalanya. Praja berada di samping ku.
            “Kejutan,” katanya. Arman terdiam dikursinya. Sambil terus menatapku.
            “Yah gitu, sombong mentang-mentang kuliah diluar.”
            “Aku pergi nih!” aku merajuk membalikkan badan.
            “Eh... tunggu...!” Dia bangkit sambil terus mengejarku dan menarikku duduk di kursi.              Dua sahabat ku ini duduk di depanku. Dia menyepak kakiku. “Gimana?” katanya dengan wajah serius sambil menaikkan alisnya ingin mewawancaraiku.
            “Gimana apanya?” Aku balik bertanya.
              Dia kembali menyandarkan punggungnya di kursi. Begitu juga dengan Praja.
            “Asyik ya, kuliah di luar negeri. Apa ceweknya cantik-cantik?” tanya Praja. Aku hanya tersenyum.
            “Cantik Ja, loe mau? Kalau loe mau ntar gue cariin satu....“
            “Eh, An kamu ke pincut nggak sama bule-bule di sana? Bule disana kan kren-kren?” Arman bertanya dengan nada ingin tahu.
            “Ah, saat ini aku belum menyukai bule-bule itu, Man. Aku masih selera Indonesia,”  lanjutku.
            “Benar...benar tuh bagaimanapun orang indonesia itu masih Ok, ya nggak Ja?”. Mereka sambil tos an. Praja juga mengangguk.
            “Tapi kalau gue perhatiin..” Arman menarikku berdiri sambil menyuruh berputar.                     “Kamu cantik seperti ini,” katanya.
            “Apa benar?” Aku juga ingin tahu.
            “Benar. Kamu tambah cantik sekarang.” Arman memujiku.
            “Benarkan!” Praja menunjukkan tangannya. “Apa ku bilang. Kamu cantik seperti ini.”               Dua sahabatku memujiku bikin aku geer aja.
             “Terima kaseehlaaah....”  Aku menirukan suara Atuk dalam cerita Ipin Upin. Kedua sahabatku tersenyum.
             “Ntar malam kita reunian ya!”
            “Ok...” Aku menyahut.
              Setelah hampir satu minggu aku liburan, waktu untuk kembali sudah tiba. Aku kembali ke Australia. Aku sampai di Bandara Melbourne tengah malam. Aku mengaktifkan ponselku. Aku mau menghubungi Sri nggak enak juga karena udah terlalu malam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata dari Pak Rianto.

       "Hallo, kamu dimana?”
       “Sekarang aku di Bandara Pak baru sampai.”
       "Tunggu sebentar, aku jemput, jangan kemana-mana.” Terdengar suara Pak Rianto di sana.
       “Baik Pak.” Aku lega sekali karena aku tak perlu meminta kepadanya. Aku duduk menunggu sambil memandang sekeliling. Bagus juga bandara Melbourne itu kalau malam hari. Aku mengeluarkan ponselku lagi. Aku mulai selfie-selfie sambil menunggu.
       "Udah cukup selfienya!” Suara Pak Rianto mengagetkan aku. “Tengah malam selfie-selfie?”
       "Bapak sudah datang? Ntar Pak kita selfie dulu.”
       “Nggak,” katanya menolak sambil mengambil koperku.
       “Bentar aja Pak. Ini bagus sekali nih,” bujukku. Akhirnya dia menurut juga. Dia hanya tersenyum melihat tingkah ku. Dia ganteng sekali. Aku belum punya foto dia sebelumnya, baru ini fotonya.
       “Jangan cemas Pak, aku tak akan mengirimkan kemana-mana kok. Nggak bakalan jadi gosip. Aku tahu kalau Bapak orang terkenal. Aku akan selalu menjaganya.”  tegasku
       “Ya udah, ayo pulang!” Kami pergi meninggalkan bandara.
       “Gimana dengan liburannya?”
       “Aku senang sekali Pak.”
       “Syukurlah. Tadi di atas pesawat kamu ngapain aja?”
       “Nggak ada, tadi aku tidur Pak.” Dia tersenyum lagi sambil melihat kearahku.
       “Tapi sebenarnya liburanku masih lama Pak. Tapi karena tiket yang Bapak pesan. Jadi aku balik!”
       “Ya semuanya itu sudah aku jadwalkan seperti itu!  Kenapa pesawatnya datang terlambat?”
       “Oh itu. Tadi ada masalah sedikit  jadi pesawat terlambat sekitar 3 jam. Tadi pihak maskapai menawarkan boleh berangkat sekarang atau besok. Ada beberapa penumpang yang mengundur keberangkatan. Aku tadi juga mau mengundurkan keberangkatan. Tapi aku mikir kalau mundur besok aku repot lagi. Jadi aku lebih baik berangkat aja.”
       Aku agak sedikit heran ngapain dia tanya-tanya seperti itu. Mobil terus melaju. Aku melihat sekeliling bukan jalan ke arah apartemenku.
       “Bentar Pak! Kita mau kemana?”
       “Apartemenku!”
       “Ke apartemen Bapak?”
       Ya”, jawabnya terus menyetir.
       “Aku mau ke apartemenku aja Pak!”
      “Tidak untuk hari ini. Besok kita akan bekerja. Jadi aku tak punya waktu untuk menjemputmu besok.”
       Jadi aku tidak melanjutkan lagi pertanyaan ku.  Sebab dia kelihatannya sangat serius. Aku takut dia kesal. Apalagi ini tengah malam dia menjemputku ke bandara. Siapa coba yang mau seperti ini tengah malam menyetir mobil. Aku menurut saja. Sesampai di Apartemennya. Dia menyuruh aku makan. Kemudian menyuruhku istirahat di kamar tamu. Dia sangat sopan menyuruhku tidur. Bahkan dia menyediakan selimut dan bantal untukku. Dia membiarkan aku tidur tanpa banyak bicara lagi. Mungkin hari sudah tengah malam dia juga ingin istirahat dan meninggalkan aku tidur dengan tenang.  Karena lelah aku tertidur lelap.
        “Bangun-bangun, apa kamu tidak mau shalat subuh?” terdengar suara yang khas sekali di telingaku. Aku menjawabnya.
       “Ya bentar.” Aku membuka mata dan melihat sesosok wajah sedang duduk di tepi tempat tidur. Aku kaget melihat wajah itu. Dengan sedikit malu aku mengucek-ngucek mataku.
       “Ayo bangun dan cepat mandi!” ujarnya meninggalkanku.
        Dengan sedikit malu aku bangun. Dia laki-laki aja udah bangun dan sudah rapi lagi. Dia memakai baju kemeja. Rapi sekali. Selesai mandi dan shalat  aku keluar.
       “Ayo sarapan dulu!” terdengar suara dia di meja makan. Dia lagi memakan roti. Aku duduk, lalu mengambil roti dan mengolesi dengan selai coklat.
       “Gimana dengan badanmu. Sudah segar?”
       “Sudah Pak.”
       “Baguslah. Ayo cepat sarapan!” Dia melihatku sambil mengunyah roti.
       Selesai sarapan dia mengajakku pergi. Aku hanya mengikuti saja. Ternyata dia mau membeli pakaian hangat dan juga sepatu.
       “Ayo, kamu pilih! Mana yang kamu suka.”
       “Buat aku Pak?” tanyaku.
       “Iya,” jawabnya tanpa menoleh sambil memilih-milih baju hangat. Dia memilih beberapa dan menyerahkannya padaku.
       “Apa kamu suka?” Dengan sedikit ragu aku hanya mengangguk.
       “Tapi kok banyak banget pak?”
       “Tenang aja, aku yang bayarin! Ntar kamu membutuhkannya.”
       Aku semakin heran. Kerja apaan ya, yang dikatakan oleh Pak Rianto semalam. Tapi aku takut bertanya. Aku mengikut saja. Setelah dia membayar semuanya. Kami kembali naik mobil. Lalu kami ke apartemenku. Dia menyuruhku untuk mengambil lap top atau apa saja yang aku butuhkan. Tapi aku benar-benar penasaran.
       “Pak kita mau kemana Pak?” tanyaku lagi.
       “Kamu ini, tidak sabaran betul kayaknya! Apa kamu ingin tahu? Duduk sini!” Dia menepuk-nepuk bantal kursi disamping dia.
       Karena aku penasaran aku mendekat. Dan duduk disampingnya. Aku melihat ke arah dia.
       “Kamu mau jadi orang sukses, mau jadi orang pintar dan punya ilmu yang banyak?”
       Aku menganggukkan kepala ku. “Liburanmu masih lama kan?” Aku mengiyakan lagi.          “Untuk itulah aku menjadwalkan kamu untuk liburan hanya satu minggu. Dan syukur juga kamu tidak mengundurkan keberangkatanmu. Coba Kalau kamu mengundurkan keberangkatanmu aku sangat kecewa sekali,” lanjutnya. Aku semakin tidak mengerti.
       “Maksudnya Pak?”
       “Kita akan ke Amerika, disana ada seminar bisnis. Jadi aku akan mengajakmu ke sana. Karena aku sudah lama sekali menunggu seminar ini.”
        “Amerika Pak?” Aku tersentak kaget. Aku seakan tak percaya mendengarnya.
       “Yah,” katanya sambil memalingkan wajahnya dengan gaya rada cuek.
       Aku bersorak sambil melompat-lompat. Akhirnya aku bisa pergi ke Amerika. Aku duduk di lantai sambil berucap syukur. Pak Rianto tertawa senang melihat aku melompat-lompat kegirangan.
       “Kita bisa lihat patung liberty nanti kan Pak? Bisa lihat gedung putih?” Dia mengangguk. Aku senang sekali.
       “Ya udah. Sudah cukup selebrasinya. Ayo cepat berkemas! Beberapa jam lagi kita berangkat !”
       “Ya Pak.” Aku langsung berkemas.
       Kami kembali ke apartemen Pak Rianto. Sesampainya di apartemen kami langsung memasukkan baju ke koper masing-masing. Tepat jam 07.00 malam kami berangkat. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak diam. Karena perjalanan sangat lama.
       “Gimana dengan perasaanmu sekarang.” Pak Rianto mengajak bicara.
       “Aku senang Pak. Aku tak menyangka bakalan bisa pergi ke Amerika,” jawabku sedikit terharu. Pak Rianto tersenyum.  “Kalau Bapak sudah berapa kali ke  Amerika?”
       “Aku sudah pernah pergi 2 kali. Keperluan bisnis juga. Sebenarnya Pak Andi ingin sekali dulu mengikuti seminar ini. Sayang, sekarang beliau sudah pensiun.”
        “Makasih ya Pak, telah mengajak aku.” Dia menganggukkan kepalanya lagi sambil menyunggingkan senyum lalu memejamkan matanya. Aku melihat ke wajahnya. Dalam hati aku berucap syukur. Seandainya aku tak kenal dengan Pak Rianto, tentu aku tak bakalan sampai ke Amerika. Aku melihat dia. Dia memang sangat baik, tampan, ganteng dan cerdas tentunya. Apa lagi kalau tidur begini. Sangat tenang sekali. Terpancar sekali aura di wajahnya. Coba kalau Ami tahu kalau aku bisa sedekat ini dengan Pak Rianto. Entah apa yang akan dikatakannya. Tiba-tiba dia membuka mata dan melihatku. Aku terkejut.
       “Ada apa?” tanyanya.
       “Nggak...” aku menggeleng. Aku kembali menyandarkan punggungku ke kursi pesawat.  Dia mengulum senyumnya dan kembali memejamkan matanya. Karena kecapean aku tertidur juga.
       Setelah cukup lama tertidur aku terbangun. Aku melihat ke arah Pak Rianto dia ternyata tidak tidur. Sepertinya dia memikirkan sesuatu. Aku takut bertanya. Tiba-tiba dia menyentuh tanganku.
       “Tidurlah! Perjalanan kita masih lama.” Aku hanya mengangguk dan menyandarkan punggungku.
       Akhirnya perjalanan panjang itu sampai juga. Kami mendarat di Amerika. Seperti pertama kali aku ke Australia. Aku juga terkagum-kagum melihatnya. Tapi aku tak mau seperti pertama kali sampai di Australia lagi. Karena sekarang aku bersama Pak Rianto aku takut dia meledekku. Lalu kami naik taksi dan menuju hotel tempat menginap. Pak Rianto telah memesan 2 kamar untuk kami. Kamar kami bersebelahan. Kami masih bisa istirahat selama satu hari menjelang seminar itu.
       Aku dan Pak Rianto sudah memasuki ruang seminar. Aku bangga bisa masuk kesana. Aku mendapatkan ilmu yang sangat luar biasa. Aku senang sekali. Dan aku tak lupa pula mengucapkan terima kasih pada Pak Rianto yang telah mengajak aku bersama dia. Pantas aja dia bisa menjalankan perusahaan sebegitu hebatnya. Karena dia selalu dibekali dengan ilmu-ilmu yang sangat luar biasa. Dan dia tidak sungkan untuk pergi jauh-jauh seperti ini. Padahal dia masih muda tapi kemampuan dia sangat luar biasa. Pak Rianto termasuk orang yang beruntung dia punya fasilitas untuk mewujudkan cita-citanya. Tapi aku juga kagum kepadanya. Dia adalah anak orang kaya tidak pemalas, rajin belajar, ulet bekerja dan tetap teguh melaksanakan kewajiban dia sebagai orang beragama. Mungkin itu juga yang membuat dia berhasil dan tidak berbuat aneh-aneh. Kalau biasanya anak orang kaya suka berfoya-foya, malas-malasan dan terpengaruh pergaulan bebas. Tapi pada diri Pak Rianto aku tidak melihat seperti itu. Dia benar-benar sangat mengagumkan. Kelak perempuan yang mendapatkan dia sangatlah beruntung punya pasangan hidup seperti dia.
       Seminar yang kami ikuti telah selesai, kami masih punya waktu satu hari lagi untuk berada di Amerika ini. Aku ingin sekali melihat patung liberty dan juga gedung putih. Pak Rianto sudah janji kalau dia mau mengajak aku ke sana. Untuk itu aku siap-siap untuk pergi.
       Aku menatap patung liberty aku seperti bermimpi sekarang bisa menyaksikannya. Begitu juga dengan gedung putih. Aku benar-benar melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku termanggu melihat itu semua. Lalu aku duduk di bangku taman. Aku memejamkan mata. Disini sangat dingin. Walaupun begitu aku menyukainya. Kapan lagi aku pergi kesini. Mumpung lagi di sini aku akan menikmatinya. Aku memejamkan mataku. Pikiranku melayang kembali ketika aku berada di taman kota yang tidak jauh dari tempat aku bekerja. Waktu itu juga dingin. Angin berhembus menerbangkan dedaunan kering. Bangku taman itu sudah cukup tua. Sedangkan disini bangku tamannya masih bagus. Aku membuka mata. Bunga-bunganya juga indah. Semua tertata rapi. Waktu itu aku hampir putus asa. Tapi saat ini aku penuh harapan. Karena sekarang aku lagi menuntut ilmu di luar negeri. Selesai melaksanakan pendidikan aku akan kembali bisa bekerja. Aku tidak terlaluh cemas dengan hal itu sebab saat ini aku bersama dengan orang yang mempunyai perusahaan itu. Tabunganku juga cukup lumayan seandainya terjadi apa-apa. Syukurlah waktu itu aku tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna. Sehingga aku bisa kuliah di luar negeri seperti ini. Dan tak menyangka pula bisa sampai ke sini. Ini suatu pengalaman yang tidak pernah terlintas dalam benakku dulunya.
       Tiba-tiba aku tersadar sudah berapa lama aku di taman ini. Dimana Pak Rianto tadi. Aku mencari-cari. Ternyata dia sedang duduk disalah satu bangku taman. Kelihatannya dia sedang memikirkan sesuatu. Sama seperti ketika dalam pesawat beberapa hari yang lalu. Apa dia ada masalah. Aku ingin bertanya tapi tak berani. Aku berjalan mendekatinya sambil menyodorkan segelas kopi. Dia mengangkat wajah dan menerima kopi itu.

       “Ada apa Pak. Maaf kalau aku perhatikan Bapak beberapa  hari ini sedang memikirkan sesuatu?”
       “Oh ...tidak. Apa kamu tidak mau selfie disini! Kamu kan hobi selfie?“
       “Sudah Pak.” Aku memperlihatkan ponselku. Dia tertawa kecil sambil melihat-lihat hasil jepretanku. “Hebat aku kan Pak.” Kataku dengan bangga. Dia tersenyum.
       “Terus yang selfi kamu aja? Aku tak diajak?” katanya. Aku menoleh, tersenyum lebar.
       “Bapak mau?” Dia mengangguk sambil mengulaskan senyum. “Baik Pak.”
       Aku mulai melakukan selfie dengan Pak Rianto dia terlihat sangat kren sekali. Sebab pada dasarnya dia memang kren orangnya.
       “Tunggu dulu! Gantian!” Dia mengeluarkan ponselnya. Kami selfian dengan ponselnya. Disamping selfian. Kami juga bergantian berfoto. Setelah selesai kami kembali ke hotel. Sebelum ke hotel kami membeli makanan. Dia tidak mau makan di restauran. Dia lebih suka makan di kamar hotel.
       Sesampainya di hotel dia mengajak aku untuk makan. Dia memilih makan di kamarku. Lalu kami makan makanan itu.
       “Kenapa Bapak lebih suka makan di hotel daripada restaurant tadi?” Aku bertanya ingin tahu.
       “Kalau makan di restaurant nggak bisa santai. Kalau makan di hotel ini, kan santai sambil nonton. Lagian besok sore kita udah balik ke Melbourne. Jadi kapan lagi kita makan berdua di kamar ini.”
       “Benar juga Pak.”
       Selesai makan dia berdiri dekat kaca.
       “Apa kamu sudah mengepak barang-barangmu?”
       “Sudah Pak,” jawabku. Aku kembali mengambil ponselku. Aku melihat-lihat foto. Aku tertawa.
       “Apa yang kamu ketawakan.” Dia ingin tahu lalu mendekatiku.
       “Ini lihat foto Bapak lucu, dekat patung liberty!”
       “Coba kulihat! Kapan kamu mengambilnya?”
       “Ada deh,” jawabku.
       “Eh curang,” katanya sambil menyentil hidungku. Aku tertawa. “Tapi walaupun gitu aku kren kan?” katanya sambil menaikkan alisnya dengan raut wajah bangga. Aku tersenyum mengiyakan.
       “Apa kamu tak ingin kesini lagi?” Dia memegang pundakku. Aku melihat ke wajahnya.
       “Kesini lagi Pak?”
       “Ya.”
       “Mau sih tapi itu tak mungkin. Lagian Bapak tak akan mau lagi membawa aku ke sini.”
       “Kalau kamu mau aku akan mengajak kamu kesini lagi nanti.”
       “Ah Bapak bercanda aja.”
       “Benar kalau kamu mau.” Dia kembali duduk didepanku. Menatap ke wajahku. Aku sedikit tersipu. Tapi kembali menetralisir sikapku. “Apa kamu tak mau bulan madu disini nantinya?”
       “Bulan madu? Bulan madu dengan siapa Pak?” Aku bertanya dengan sedikit tertawa.
       “Yah dengan akulah.”
       “Dengan Bapak? Ah... Bapak bercanda lagi ya.”
       “Nggak aku tak bercanda. Aku serius,” jawabnya sambil terus memandangku.
       Aku jadi kikuk. Jantungku berdebar kencang. Aku tak berani lagi menjawab. Apalagi mengangkat wajahku. Pak Rianto memegang tangan kanan ku dan mengenggamnya. Terasa sekali tangannya hangat. Tapi tanganku pasti dingin saking kagetnya. Aku hanya diam. Tak berani bicara lagi. Dengan pelan aku menaruh ponselku di atas meja. Aku serasa tak punya kekuatan untuk memegangnya. Lalu dia mengambil tanganku yang satu lagi.
       “Will You Marry me?” katanya. Aku terkejut, terpana sesaat. Aku mencoba untuk menatap wajahnya. Aku berusaha mencari dari  kedua matanya. Apa  benar dia serius.  Sementara wajahnya benar-benar sedang menunggu jawabanku.
       “Apa Bapak serius?”
       “Serius..”
       “Apa Bapak tak malu dengan aku.”
       “Malu kenapa malu?”
       “Yah aku kan orang biasa saja. Sementara Bapak. Terus gimana dengan Pak surya dan Ibu Bapak. Apa dia bisa menerimanya.” Dia melepas tanganku. Dan duduk disampingku.
       “Sebenarnya beberapa hari yang lalu aku sudah mengutarakan maksudku kepada beliau. Bagi Papa semuanya terserah aku. Karena aku yang akan menjalaninya. Malah Mama sangat suka dengan kamu.”
       “Ibu Surya suka aku. Dimana beliau kenal aku?”
       “Kamu masih ingat beberapa waktu yang lalu ketika Papa ulang tahun. Kamu hadirkan di sana. Jadi beliau melihat kamu.”
       “Oh ya. Tapi waktu itu Bapak tidak hadir.”
       “Yah, waktu itu aku ada kerja di Singapura. Jadi tak bisa datang. Tapi aku yang pertama lho mengucapin selamat.” Aku tersenyum mendengarnya.
       “Jadi gimana. Apa jawabannya? Apa kamu mau menerima aku jadi teman  hidupmu untuk selamanya?”
       “Bukan aku tak mau Pak. Tapi aku takut Bapak kecewa. Karena aku hanya perempuan biasa. Dari keluarga biasa juga,” ujarku.
       “Aku tak pernah menilai orang dari segi itu. Kalau aku mau mencari orang kaya atau apalah. Sudah banyak dari dulu. Tapi aku merasa tidak nyaman dengan mereka. Baru dengan kamu aku merasa nyaman.” Aku tersenyum mendengar jawabannya ada rasa lega di dalam hatiku sebab terus terang aku kurang percaya diri. Aku tahu betul Pak Rianto ini. Tentu banyak perempuan-perempuan cantik yang menyukai dia.
       “Bapak nggak nyesal aku nggak cantik lho..,” tambahku menyakin dia.
       “Siapa bilang. Kamu cantik dan pintar lagi. Dan lagi kecantikan itu relatif. Yang penting hatinya.” Aku kembali tersipu malu.
       “Ayo jawab!” Dia kembali memegang tanganku. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala ku.
       “Benar. Kamu menerima aku?” Aku menganggukan kepala kembali.
       “Terima kasih, Ansi.” Dia tersenyum bahagia. Lalu dia mengambil cincin di saku bajunya sambil memasangkan cincin itu di jari tanganku. Dia mencium kedua tanganku. Aku terkejut tapi aku bahagia. Aku bukan hanya dijadikan pacarnya tapi istrinya. Orang yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi teman hidupku untuk selamanya walau jauh dari lubuk hatiku paling dalam aku sangat mengaguminya. Saat ini terasa ada sesuatu yang  kembali di relung hatiku yang paling dalam.
       Sesampai di Melbourne. Aku kembali ke apartemenku. Aku membersihkannya, karena waktu aku pulang liburan kemaren belum sempat bersih-bersih. Tak berapa lama aku tidur. Terdengar suara bel. Aku mengintip keluar. Ternyata Sri temanku. Aku membuka pintu.
       “Kamu ini tak memberi kabar apapun? Kapan kamu balik dari Indonesia?” Sri langsung memberondongku dengan pertanyaannya. “Ntar-ntar ini ada yang mencurigakan nih. Kalau aku pandang-pandang wajahmu ceria sekali. Apalagi matamu. Ada binar apa gitu.” Sri terus bicara.
       “Binar apa coba?” tanya ku menguji dia sambil memberikan secangkir teh manis. “Aku ke Amerika dengan Pak Rianto. Dia mengajaku mengikuti seminar bisnis.  Pak Rianto yang punya Antara Internasional. Sekarang dia mengambil S3 nya disini. Aku tak menyangka bakalan sampai di Amerika Sri. Dan yang lebih mengejutkan lagi dia disana melamar aku.” Aku menunjukkan jari tanganku.
       “Apaaa?” Sri yang sedang minum teh tersedak saking kagetnya. Aku menceritakan semuanya dari  awal  sampai  akhir. “Hebat-hebat.  Aku  kagum  sama  kamu.  Kamu  bisa
mendapatkan bos mu yang tajir itu. Luar biasa,” ujarnya.
       “Aku senang banget Sri.” Aku langsung memeluk dia. Sri menepuk-nepuk punggungku. “Dulu aku hanya mengagumi dia Sri. Ternyata dia juga menyukai ku.”
       “Selamat ya. Semoga kalian bisa benar-benar menikah. Aku doakan.” Lalu aku melepaskan pelukan pada Sri. Sri tersenyum senang melihatku.
       Setelah beberapa bulan kemudian. Pak Rianto ingin kami menikah secepatnya. Karena dia tak ingin setelah aku selesai kuliah kembali ke Indonesia. Dia ingin aku tetap menemani dia sampai S3 nya selesai. Setelah aku wisuda. Aku duluan pulang. Dan disusul oleh Pak Rianto beberapa hari kemudian. Kedua keluarga berembuk ditentukanlah hari pernikahan kami. Ami yang mendengar berita itu marah-marah karena aku tak pernah cerita kepadanya. Tapi akhirnya dia menyetujuinya dan malah dia yang paling sibuk mengurusnya. Begitu juga dengan Arman dan Praja.
       “Ansi kamu ini bikin kami patah hati. Awalnya kami masih berharap diantara kami berdua ada yang kamu pilih. Tapi kamu malah memilih bos besar. Ah, kecewanya,” kata Arman sambil duduk lemas. Aku lalu mendekati kedua sahabatku itu.
       “Kalau aku memilih salah satu diantara kamu. Itu namanya nggak adil.” Setelah berpikir mereka tersenyum.
       “Benar juga sih. Tapi kamu telah membuat aku patah hati An.” Praja kembali merajuk. Aku mendekatinya dan menepuk pundaknya.
       “Tenang sahabat. Kamu kan kren,”  ujarku sambil bergaya dengan dua jari telunjuk dan jempol dibawah dagu. “Di luar sana masih banyak gadis-gadis yang selalu menunggu cintamu.” Semuanya tertawa.
       Keesokan harinya aku menikah dan sehari setelah itu kami langsung berangkat ke Australia lagi. Karena jadwal Pak Rianto sangat padat di sana. Sekarang aku tidak tinggal di apartemenku yang lama lagi. Tapi aku sekarang sudah tinggal di apartemen Pak Rianto. Aku terbangun aku seperti tidak percaya. Sekarang aku lagi di negeri orang. Aku melihat jariku ada cincin disana lalu menoleh ke sampingku terlihat suamiku tertidur lelap sekali. Entah karena kecapean atau karena udara yang terasa dingin sehingga tidurnya lelap sekali. Terlihat wajahnya yang ganteng dan tenang. Aku tersenyum. Aku tak menyangka mendapatkan suami seperti dia. Kadang aku ingin bertanya kepadanya sejak kapan dia mulai menyukaiku. Tapi sudahlah sekarang dia suamiku. Aku kembali tidur.
       Aku duduk sambil nonton TV. Sementara Pak Rianto masih tetap bekerja didepan lap topnya. Beberapa saat kemudian. Dia menutup Lap topnya dan langsung merangkul aku.
       “Gimana jadi kita ke Amerika lagi. Empat hari ke depan aku nggak ada jadwal.” Aku menoleh.
       “Ke Amerika. Nggak usahlah disini aja!”
       “Trus kemana kita berbulan madu? Dulu kamu katanya mau bulan madu disana?” Dia duduk disampingku. Lalu dia menarik kepalaku ke dadanya dan memegang tanganku.
       “Bulan madunya di sini aja. Kapan-kapan aja kita ke sana. Aku ingin kita di sini aja, jalan-jalan, makan dan pokoknya selama Bapak libur beberapa hari ini, hanya menemani aku aja!”  Dia tersenyum.
       “Tapi sekarang kok masih memanggil Bapak?”
       “Trus aku panggil apa coba? Aaah.... Aku panggil kakak aja! Kak Rian. Wah kren kan?”  Dia berpikir sejenak, lalu mengangguk menyetujuinya.
       “Kamu tahu tidak, dulu aku sering tanya-tanya kamu kepada Airlangga. Dari dialah aku tahu kalau kamu lagi kuliah di sini. ”Aku bangun dan menghadap kearah dia. Dengan gaya cemberut aku bertanya.
       “Oh, jadi waktu itu bukan kebetulan ketemu kan?” Dia menahan senyum. “Eh dasar. pakai alasan pengen makan nasi goreng segala.” Aku meledeknya.
       “Kalau masalah nasi goreng itu memang benar. Aku memang ingin makan nasi goreng,” jawabnya meyakinkan.
        “Trus yang bohongnya apa tanyaku?” menengadah ke wajahnya.
       “Hm... yang tak sengaja ketemu, yang benar berusaha menemukan,” jawabnya agak sedikit pelan.
       “Ih... akhirnya ketahuan!”
       “Tapi kamu mau kan?” lanjutnya sambil memelukku.
       “Kan disuruh bos!”
       “Aku juga tahu kalau kamu suka melihat aku diam-diam.”
       “Kapan?” aku seolah berpikir.
       “Sering. Ngaku ayo. Tuh lihat mukanya merah.”
       “Ndak ada.”
       “Hmm..., yang paling lama waktu di atas pesawat,” katanya menjauhiku. Aku mengejarnya. Merasa ketahuan. Karena malu aku melemparkan bantal kepadanya. Dia menangkap bantal itu sambil terus mengodaku. Aku semakin malu.
       “Tapi aku suka,” katanya mendekat sambil mencolek hidungku. “Ih...” katanya lagi sambil mengacak rambutku. “Jadi gimana kalau kita jalan-jalan sekarang?” ujarnya mengajakku. Aku mengangguk senang dan langsung siap-siap. Lalu kami menyusuri kota Melbourne dengan penuh keceriaan yang tak akan pernah terlupakan bagi kami untuk selamanya.

       Sekarang aku lagi hamil. Suamiku sangat menjaga dan memperhatikan segala keperluan ku. Dia senang sekali melihat hasil USG,  kami akan punya anak perempuan. Menurut dia anak perempuan itu lucu dan bisa dibelian baju macam-macam. Dia ingin rambutnya dikuncir. Ah... entahlah dia selalu menghayalkan macam-macam tentang anaknya. Aku hanya bisa tersenyum bahagia.
       Malam itu suamiku duduk di depan komputer lagi. Aku datang sambil meletakkan segelas air putih.
       “Kak. Tadi mama menelpon.”
       “Oh ya,” katanya.
       “Mama ngucapin terima kasih. Kak kamu ngirimin uang buat mama?” tanyaku.  Dia menoleh.
       Ya, biasanya kamu yang ngirimin kan? Tapi kini itu jadi kewajiban aku!” ujarnya.
       “Makasih ya kak. Kamu udah perhatian pada orang tuaku.”
       “Iya, sama-sama, lagian orang tua kamu kan orang tua aku juga.”
       Aku tersenyum. Sambil memeluk dia dari belakang. Dia tersenyum sambil terus bekerja. Lalu aku memijit  pundaknya.
       “Masih banyak kerjaannya kak. Apa aku bisa bantu.”
      “Nggak. Bentar lagi selesai kok. Aku hanya lagi mencek laporan dari perusahaan melalui email.”
       “Oo..” Lalu aku melangkah ke tempat tidur yang tak jauh dari tempat suamiku bekerja. Aku menyandarkan punggungku dan meluruskan kaki sambil terus memandang dia.
       “Akhirnya selesai juga,” katanya. Dia meminum air putihnya dan menutup lap top. Dia melihat ke arahku. Dan tersenyum.
       “Ada apa?” tanyanya sambil duduk menghadap ke dekat ku.
       “Kak. Boleh nggak aku tanya?”
       “Boleh tanya apa?” Dia memegang tanganku.
       “Aku dari dulu ingin tahu, kok bisa kak kamu tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas dan selalu rajin melaksanakan ibadah? Ini kan luar negeri? Kan banyak pengaruhnya?” Dia tersenyum.
       “Gini ya. Aku dari dulu dididik oleh Papa dan Mama untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Sejak aku kecil aku tak pernah melihat papa untuk pergi ke club atau apalah namanya itu. Karena menurut Papa tempat itu sumber dari segala masalah. Masalah perempuan, minuman dan obat-obat terlarang. Jadi lebih baik kita menghindari masalah, ngapain cari masalah. Itu yang pernah dikatakan oleh Papa.”
       Aku memperhatikan dia dengan serius.
       “Mengenai ibadah. Sebagai seorang yang beragama kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita yakini makanya aku berusaha untuk tidak meninggalkan kewajibanku.”
       Aku tersenyum dan bangga pada dirinya.
       “Udah masih ada pertanyaan?” ujarnya, sambil naik ke tempat tidur. Trus membaringkan badannya menghadap padaku. Dia memegang tanganku. “Aku suka sama kamu karena kamu tipe perempuan yang meletakkan sesuatu pada porsinya. Yang tidak suka berlebihan. Bahkan kamu tidak suka mengikuti acara yang tak ada gunanya. Bukan berarti kamu tidak suka bergaul bukan, kalau aku lihat kamu suka bergaul dengan teman-temanmu tapi tidak berlebihan. Dan satu lagi kamu termasuk tipe teman yang setia dan menghargai orang lain.”
       “Kak kok kamu tahu sedetail gitu tentang aku. Apa benar aku seperti itu. Sedangkan aku sendiri tidak menyadarinya lho.” Aku bertanya dengan raut wajah ingin tahu.
       “Yah... gitulah aku sudah memperhatikan kamu dari dulu. Tapi aku senang mendengarnya berarti kamu melakukan sesuatu dengan jujur berarti nggak di buat-buat selama ini.” Sambungnya lagi. Dia tersenyum. Aku masih terbengong. “Udah, ayo tidur!” katanya sambil membetulkan bantalku dan membantu aku membaringkan badanku sambil mengambil selimut. Memang agak sedikit susah dengan perut yang semakin besar. Aku memandang ke langit-langit kamar. Dia mencolek hidungku. “Eh, apa lagi yang dipikirkan?”
        “Trus kalau ada yang mengoda kakak gimana?”
      “Oh, jadi intinya, itu ya dari tadi?” Dia tertawa kecil. Lalu dia bangun dan bersandar pada tempat tidur. Dengan sedikit malu aku tersenyum. “Ngapain aku tergoda dengan perempuan lain lagi aku kan sudah punya istri? Lagian aku tak mau menyia-nyiakan perjuanganku dulu, gimana susahnya mencari kamu disini dulu.”
    “Emangnya susah cari aku dulu?”
    “Kan udah tanya sama Pak Airlangga?”
     “Iya, tapi dia memberikan alamat nggak mendetail juga. Lagian aku nggak enak pula tanya sekecil-kecilnya.”
      “Kenapa nggak enak?” Tanyaku dengan nada sedikit mengoda dia.
       “Yah, ntar ketahuan lah oleh Airlangga.”
       "Oh, aku tahu. Jaga wibawa kan?”
       “Ya...lah,” jawabnya dengan sedikit malu. Aku bangun dan bersandar lagi.
        “Awalnya aku cerita sama Airlangga keinginanku untuk kuliah lagi. Sekalian tanya kamu. Tapi aku kaget sekali kalau Airlangga mengatakan kalau kamu nggak kerja di perusahaan untuk beberapa waktu katanya. Tahu nggak waktu itu aku cemas sekali. Dan yang membuat aku kesal lagi. Airlangga dapat telpon pula waktu itu. Jadi dia nggak sempat menceritakan kalau kamu dimana.”
       Aku yang mendengarkan ceritanya ikut tersenyum.
       "Trus?” kata ku jadi penasaran.
       “Aduh...” dia menepuk jidatnya. “Aku nggak bisa tidur semalaman. Mau tanya lagi segan. Kalau nggak di tanya penasaran. Setelah menunggu beberapa hari aku berencana mengunjungi Antara Internasional. Eh, nggak tahunya Airlangga kembali bertemu denganku. Dan ia mengingatkanku kalau aku jadi kuliah di sini, agar mencari kamu karena kamu lagi kuliah juga disini. Waktu itulah dia memberikan alamat dimana kamu kuliah dan jurusan apa. Cuma sayangnya dia tak tahu alamat apartemen kamu. Aduh aku senang sekali mendengarnya ternyata kamu sedang kuliah disini aku kira kamu udah nikah?”
     “Kalau seandainya aku udah nikah, gimana?” ujiku.
       “Entahlah apa yang aku lakukan. Tapi kalau feeling aku, kamu itu akan jadi milikku.”
       “Kok bisa?”
       “Hmm.... yalah,” katanya sambil menaikkan alisnya dengan wajah tersenyum. “Belum selesai sampai disitu, bagaimana pula aku cari alamat kamu disini. Aku tanya ke kampus. Nggak ketemu-ketemu. Tapi aku pernah tanya sama teman kuliahmu kalau kamu memang benar ada kuliah disini. Aku udah tenang. Lalu aku mencoba mencari kamu ke taman dekat kampus. Aku coba lihat-lihat mana tahu kamu ada disana. Aku tahu sekali kalau kamu suka tempat-tempat seperti itu. Aku udah lama tuh hari itu mengamati kamu,”
     “Ngapain nggak langsung aja memanggil aku!”
       "Yah. Aku  perlu yakinlah. Mana tahu mirip. Tapi waktu gaya kamu duduk dan minum
aku yakin makanya aku mulai mendekati. Ternyata benar. Akhirnya aku berhasil menemukan kamu. Tapi syukur pula kamu masih kuliah disini waktu itu. Kalau kamu udah selesai pula. Itu semakin susahkan mencarinya.” Aku menatapnya heran. “Yah.. mana tahu kamu berubah pikiran cari kerja disini. Atau pindah kerja ke tempat yang lain?”
       "Nggak lah aku udah janji kalau aku bakal kembali ke Antara Internasional,” ujarku.
       “Kalau seandainya kamu dapat jodoh disini. Tentu nggak balik lagi,” katanya dengan wajah cemberut.
       “Memang benar nih udah dapat jodoh disini,” ujarku lagi. Dia tersenyum.
       "Jadi mulai hari ini dan seterusnya jangan mikir yang aneh-aneh lagi.” Sambil memegang tanganku. Aku tersenyum menganggukkan kepalaku. “Dan kalau aku perhatikan istriku makin hari makin cantik. Bikin aku pengen cepat pulang aja,”  katanya.
       "Benar, ini kan perutnya besar mana kelihatan cantik?” sahutku.
       “Benar, Ansiku akan selalu cantik bagiku sampai kapan pun dan ini anakku?” ujarnya sambil tersenyum membelai perutku.
       “Kak, Aku dari dulu suka sekali dengan senyummu itu.” Puji ku sambil memegang mukanya. “Dulu aku pikir, aku tidak akan bisa lagi melihatmu kak, ketika kamu meninggalkan Antara Internasional, tapi akhirnya aku bisa melihatmu selama hidupku”, ucapku lirih.
        "Maafkan aku, terlalu lama meninggalkanmu, ini bukan aku sengaja sebab terlalu banyak yang harus aku selesaikan.” Dia menarikku ke dadanya. “Aku mencintaimu sampai kapanpun,” ujarnya lagi.
       “Aku juga.” jawabku sambil memandang wajahnya yang selalu aku kagumi. Dia mencium keningku dengan lembut dan membelai rambutku. Aku memejamkan mataku dengan senyuman ada getaran bahagia dihatiku.
       Makin hari makin besar aja kehamilanku. Pak Rianto harus pergi ke Singapura untuk mengurus pembukaan perusahaan baru di sana.
       "Apa kamu yakin aku tinggal,” katanya sambil memakai baju.
       “Yakin, Sri dan asisten kita kan ada. Kalau ada apa-apa aku bisa minta bantuan mereka. Lagian perginya kan cuma dua hari? Setelah itu kan kembali lagi?”
       “Iya sih, tapi aku tidak tenang. Sebenarnya aku udah minta kemaren ini! Untuk mempercepatnya jangan sampai bulan ini!  Tapi entah kenapa. Gimana kalau anakku lahir sebelum aku sampai disini. Aku tak mau kehilangan moment itu!” sungutnya.
      “Pergi aja, dia pasti menunggu Papinya kok!” lanjutku sambil memasangkan jas dan merapikan dasinya.
       "Nak, Papi pergi bentar ya, jaga Mamimu!” Dia membelai perutku. “Oh ya, pembukaan perusahaan baru ini buat kamu dan anak kita lho,” ujarnya sambil mencium keningku.
      “Tapi aku boleh kerja lagi nanti kan?”
       “Boleh, buat apa cari ilmu jauh-jauh ke sini,” jawabnya.  Aku tersenyum senang.
       “Tapi setelah anak kita bisa ditinggal. Aku nggak mau cepat-cepat ninggalin dia. Aku menegaskan. Dia tersenyum menatapku lalu memegang kedua tanganku.
       “Itu yang aku suka dari kamu An. Punya tanggung jawab atas keluarga dan tahu menempatkan sesuatu itu pada tempatnya dan tidak cengeng.”
       “Makasih ya kak. Semoga acaranya sukses.” Seraya memandang ke wajahnya.
       “Amiiin...,” jawabnya lalu dia memelukku sesaat. “Baiklah kalau gitu aku berangkat ya!”
       Hati-hati ya, kak!” Dia mengangguk. Lalu aku mencium tangannya dan mengantar dia naik mobil.
       Ini sudah dua hari dia disana, mungkin sudah dalam perjalanan kembali. Memang nggak enak sekali kalau ditinggal suami, apalagi kalau lagi hamil seperti ini. Tiba-tiba aku merasakan sakit sekali di pinggangku. Aku mulai berpikir apa aku akan melahirkan sekarang. Hari sudah menjelang sore. Daripada terjadi apa-apa. Aku menghubungi Sri. Asisten rumah tangga kami sudah mengemasi keperluan ku jika memang hari ini melahirkan. Beberapa saat kemudian Sri datang. Namun sakitnya semakin menjadi.
       "Sri sakit banget Sri..,” keluhku.
       “Ya... ya... sabar! Kita langsung ke rumah sakit aja ya!” Sri memapah aku ke mobil untuk pergi ke rumah sakit. Karena buru-buru ponselku ketinggalan pula.
Di perjalanan ponsel Sri berdering. Ternyata suara Pak Rianto.
       “Hallo..., Kamu dimana Sri?”
       “Aku di mobil Pak menuju rumah sakit. Ini Ansi,” kata Sri langsung menyerahkan ponselnya.
      “Kak...kamu sekarang dimana?” kataku sambil merintih kesakitan.
      “Aku sudah sampai bandara, ini mau menuju ke apartemen. Ada apa An? Tadi aku menghubungi ponselmu tak ada yang mengangkat.”
      “Ya, ponselnya ketinggalan kak. Aku sudah tak tahan Kak, cepat susul aku kayaknya aku mau melahirkan!” ujarku lagi sambil menahan rasa sakit.
       “Baik-baik aku langsung menyusul ke rumah sakit!” jawabnya
       Sesampainya di rumah sakit aku langsung ditangani oleh dokter. Aku berharap suamiku dapat datang saat aku melahirkan.  Beberapa saat kemudian aku melihat dia masuk dengan wajah cemas sekali dengan nafas yang terengah-engah, mungkin dia lari. Sesampainya di dalam dia langsung memegang tanganku. Aku senang, seakan punya kekuatan tambahan untuk menghadapi persalinan ini. Lewat perjuangan berat, aku melahirkan. Dia sangat terharu saat dia mengendong anaknya untuk pertama kalinya.  Lalu dia mengazankan. Dokter yang melihat tersenyum dan mengucapkan selamat. Aku melahirkan bayi perempuan yang cantik. Dia mengendong anak kami dan mendekatkan kepadaku. Dia tersenyum.
       “Terima kasih An,” katanya sambil mencium keningku. Aku tersenyum bahagia mengendong anakku dan menciumnya. Lalu dia menelpon orang tuaku dan juga orangtuanya secara bergantian. “Mereka senang, besok papa dan mama kesini lihat cucunya,” ucapnya dengan penuh semangat. Aku melihat  raut bahagia di wajah suamiku.
       “Namanya siapa?” tanya Sri
       “Bernie Rianto Surya Permana,” jawab kami serempak.”
       “Hmmmm.. kompak niyeeeeee,” ujar Sri. Semua tertawa bahagia.


~ TAMAT~